Selasa, 06 September 2011

Macam-macam Ashhabul furudh


C. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperdelapan

Dari sederetan ashhabul furudh yang berhak memperoleh bagian seperdelapan (1/8) yaitu istri. Istri, baik seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya atau dari rahim istri yang lain. Dalilnya adalah firman Allah SWT:

"... Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuh, wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu ..." (an-Nisa': 12)

D. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Dua per Tiga

Ahli waris yang berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3) dari harta peninggalan pewaris ada empat, dan semuanya terdiri dari wanita:
  1. Dua anak perempuan (kandung) atau lebih.
  2. Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih.
  3. Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih.
  4. Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.
Ketentuan ini terikat oleh syarat-syarat seperti berikut:
1. Dua anak perempuan (kandung) atau lebih itu tidak mempunyai saudara laki-laki, yakni anak laki-laki dari pewaris. Dalilnya firman Allah berikut:
"... dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per tiga dari harta yang ditinggalkan ..." (an-Nisa': 11)
Ada satu hal penting yang mesti kita ketahui agar tidak tersesat dalam memahami hukum yang ada dalam Kitabullah. Makna "fauqa itsnataini" bukanlah 'anak perempuan lebih dari dua', melainkan 'dua anak perempuan atau lebih', hal ini merupakan kesepakatan para ulama. Mereka bersandar pada hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim yang mengisahkan vonis Rasulullah terhadap pengaduan istri Sa'ad bin ar-Rabi' r.a. --sebagaimana diungkapkan dalam bab sebelum ini.
Hadits tersebut sangat jelas dan tegas menunjukkan bahwa makna ayat itsnataini adalah 'dua anak perempuan atau lebih'. Jadi, orang yang berpendapat bahwa maksud ayat tersebut adalah "anak perempuan lebih dari dua" jelas tidak benar dan menyalahi ijma' para ulama. Wallahu a'lam.
2. Dua orang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki akan mendapatkan bagian dua per tiga (2/3), dengan persyaratan sebagai berikut:
  1. Pewaris tidak mempunyai anak kandung, baik laki-laki atau perempuan.
  2. Pewaris tidak mempunyai dua orang anak kandung perempuan.
  3. Dua cucu putri tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki.
3. Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) akan mendapat bagian dua per tiga dengan persyaratan sebagai berikut:
  1. Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki maupun perempuan), juga tidak mempunyai ayah atau kakek.
  2. Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) itu tidak mempunyai saudara laki-laki sebagai 'ashabah.
  3. Pewaris tidak mempunyai anak perempuan, atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Dalilnya adalah firman Allah:
    "... tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua per tiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal ..." (an-Nisa': 176)
4. Dua saudara perempuan seayah (atau lebih) akan mendapat bagian dua per tiga dengan syarat sebagai berikut:
  1. Bila pewaris tidak mempunyai anak, ayah, atau kakek.
  2. Kedua saudara perempuan seayah itu tidak mempunyai saudara laki-laki seayah.
  3. Pewaris tidak mempunyai anak perempuan atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, atau saudara kandung (baik laki-laki maupun perempuan).
Persyaratan yang harus dipenuhi bagi dua saudara perempuan seayah untuk mendapatkan bagian dua per tiga hampir sama dengan persyaratan dua saudara kandung perempuan, hanya di sini (saudara seayah) ditambah dengan keharusan adanya saudara kandung (baik laki-laki maupun perempuan). Dan dalilnya sama, yaitu ijma' para ulama bahwa ayat "... tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua per tiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal ..." (an-Nisa': 176) mencakup saudara kandung perempuan dan saudara perempuan seayah. Sedangkan saudara perempuan seibu tidaklah termasuk dalam pengertian ayat tersebut. Wallahu a'lam.

E. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Sepertiga

Adapun ashhabul furudh yang berhak mendapatkan warisan sepertiga bagian hanya dua, yaitu ibu dan dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan) yang seibu.
Seorang ibu berhak mendapatkan bagian sepertiga dengan syarat:
  1. Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki.
  2. Pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih (laki-laki maupun perempuan), baik saudara itu sekandung atau seayah ataupun seibu. Dalilnya adalah firman Allah:
    "... dan jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga..." (an-Nisa': 11)
    Juga firman-Nya:
    "... jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam..." (an-Nisa': 11)
Catatan:
Lafazh ikhwatun bila digunakan dalam faraid (ilmu tentang waris) tidak berarti harus bermakna 'tiga atau lebih', sebagaimana makna yang masyhur dalam bahasa Arab --sebagai bentuk jamak. Namun, lafazh ini bermakna 'dua atau lebih'. Sebab dalam bahasa bentuk jamak terkadang digunakan dengan makna 'dua orang'. Misalnya dalam istilah shalat jamaah, yang berarti sah dilakukan hanya oleh dua orang, satu sebagai imam dan satu lagi sebagai makmum. Dalil lain yang menunjukkan kebenaran hal ini adalah firman Allah berikut:
"Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan) É" (at-Tahrim: 4)
Kemudian saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih, akan mendapat bagian sepertiga dengan syarat sebagai berikut:
  1. Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki ataupun perempuan), juga tidak mempunyai ayah atau kakak.
  2. Jumlah saudara yang seibu itu dua orang atau lebih.Adapun dalilnya adalah firman Allah:
    "... Jika seseorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu ..." (an-Nisa': 12)
Catatan
Yang dimaksud dengan kalimat "walahu akhun au ukhtun" dalam ayat tersebut adalah 'saudara seibu'. Sebab Allah SWT telah menjelaskan hukum yang berkaitan dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan sekandung dalam akhir surat an-Nisa'. Juga menjelaskan hukum yang berkaitan dengan bagian saudara laki-laki dan perempuan seayah dalam ayat yang sama. Karena itu seluruh ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan "akhun au ukhtun" dalam ayat itu adalah saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu.
Selain itu, ada hal lain yang perlu kita tekankan di sini yakni tentang firman "fahum syurakaa 'u fits tsulutsi" (mereka bersekutu dalam yang sepertiga). Kata bersekutu menunjukkan kebersamaan. Yakni, mereka harus membagi sama di antara saudara laki-laki dan perempuan seibu tanpa membedakan bahwa laki-laki harus memperoleh bagian yang lebih besar daripada perempuan. Kesimpulannya, bagian saudara laki-laki dan perempuan seibu bila telah memenuhi syarat-syarat di atas ialah sepertiga, dan pembagiannya sama rata baik yang laki-laki maupun perempuan. Pembagian mereka berbeda dengan bagian para saudara laki-laki/perempuan kandung dan seayah, yang dalam hal ini bagian saudara laki-laki dua kali lipat bagian saudara perempuan.

Masalah 'Umariyyatan

Pada asalnya, seorang ibu akan mendapat bagian sepertiga dari seluruh harta peninggalan pewaris bila ia mewarisi secara bersamaan dengan bapak --seperti telah saya jelaskan--- berdasarkan pemahaman bagian ayat (artinya) "jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga".
Akan tetapi, berkaitan dengan ini ada dua istilah yang muncul dan dikenal di kalangan fuqaha, yakni 'umariyyatan dan al-gharawaini. Disebut 'umariyyatan sebab kedua hal ini dilakukan oleh Umar bin Khathab dan disepakati oleh jumhur sahabat ridhwanullah 'alaihim. Sedangkan al-gharawaini bermakna 'dua bintang cemerlang', karena kedua istilah ini sangat masyhur. Dalam kasus ini, ibu hanya diberi sepertiga bagian dari sisa harta warisan yang ada, setelah sebelumnya dikurangi bagian suami atau istri. Agar lebih jelas, saya sertakan contohnya.

Contoh Pertama

Seorang istri wafat dan meninggalkan suami, ibu, dan ayah. Suami mendapat bagian setengah (1/2) dari seluruh harta warisan yang ada. Ibu mendapat sepertiga (1/3) dari sisa setelah diambil bagian suami. Kemudian ayah mendapat seluruh sisa yang ada. Untuk lebih jelas lagi saya berikan tabelnya:
Pokok masalahnya dari 6

KeteranganJumlah BagianNilai
Suami1/2
3
Ibu1/3 dari sisa setelah dikurangi bagian suami
1
AyahSeluruh sisa peninggalan sebagai 'ashabah
2

Dalam contoh kasus ini ibu mendapatkan bagian sepertiga dari sisa setelah diambil bagian suami pewaris, sebab bila ia memperoleh sepertiga dari seluruh harta yang ada maka ia akan mendapat bagian dua kali lipat bagian ayah. Hal ini tentunya bertentangan dengan kaidah dasar faraid yang telah ditegaskan dalam Al-Qur'an dalam bagian ayat "lidzdzakari mitslu hazhzhil untsayain". Karenanya untuk tetap menegakkan kaidah dasar tersebut, ibu mendapat bagian sepertiga dari harta warisan setelah diambil hak suami pewaris. Dengan demikian, hak ayah menjadi dua kali lipat dari bagian yang diterima ibu.

Contoh Kedua

Seorang suami meninggal dunia dan ia meninggalkan istri, ibu, dan ayah. Istri mendapat bagian seperempat (1/4) dari seluruh harta peninggalan suaminya, sedangkan ibu mendapat bagian tiga per empat dari sisa setelah diambil hak istri. Sedangkan bagian ayah adalah sisa harta yang ada sebagai 'ashabah.
Pokok masalahnya dari 4

KeteranganJumlah BagianNilai
Isteri1/4
1
Ibu1/3 dari sisa setelah dikurangi bagian isteri
1
AyahMendapat bagian seluruh sisa peninggalan yang ada sebagai 'ashabah
2

Dari kedua contoh tersebut tampak oleh kita bahwa pada hakikatnya bagian ibu pada tabel pertama adalah seperenam (1/6), sedangkan pada tabel kedua adalah seperempat (1/4). Adapun penyebutannya dengan istilah sepertiga dari sisa setelah diambil hak suami atau istri adalah karena menyesuaikan adab qur'ani.
Masalah 'umariyyatan ini pernah terjadi pada masa sahabat, tepatnya masa Umar bin Khathab r.a.. Dalam masalah ini terdapat dua pendapat yang terkenal. Pendapat pertama dintarakan oleh Zaid bin Tsabit r.a. yang kemudian diambil oleh jumhur ulama serta dikokohkan oleh Umar bin Khathab dengan menyatakan bahwa bagian ibu adalah sepertiga dari sisa setelah diambil hak suami atau istri.
Sedangkan pendapat yang kedua diutarakan oleh Ibnu Abbas r.a.. Menurutnya, ibu tetap mendapat bagian sepertiga (1/3) dari seluruh harta yang ditinggalkan suami atau istri (anaknya). Bahkan Ibnu Abbas menyanggah pendapat Zaid bin Tsabit: "Apakah memang ada di dalam Al-Qur'an istilah sepertiga dari sisa setelah diambil hak suami atau istri?" Zaid menanggapinya dengan mengatakan: "Di dalam Kitabullah juga tidak disebutkan bahwa bagian ibu sepertiga dari seluruh harta peninggalan yang ada bila ibu bersama-sama mewarisi dengan salah satu suami atau istri. Sebab yang disebutkan di dalam Al-Qur'an hanya "wawaritsahu abawahu".
Jadi, menurut hemat saya, apa yang dipahami Zaid dan dipilih oleh jumhur ulama serta ditetapkan oleh Umar bin Khathab itulah pendapat yang sahih. Wallahu a'lam.

F. Asbhabul Furudh yang Mendapat Bagian Seperenam

Adapun asbhabul furudh yang berhak mendapat bagian seperenam (1/6) ada tujuh orang. Mereka adalah (1) ayah, (2) kakek asli (bapak dari ayah), (3) ibu, (4) cucu perempuan keturunan anak laki-laki, (5) saudara perempuan seayah, (6) nenek asli, (7) saudara laki-laki dan perempuan seibu.
1. Seorang ayah akan mendapat bagian seperenam (1/6) bila pewaris mempunyai anak, baik anak laki-laki atau anak perempuan. Dalilnya firman Allah (artinya): "... Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (an-Nisa': 11)
2. Seorang kakek (bapak dari ayah) akan mendapat bagian seperenam (1/6) bila pewaris mempunyai anak laki-laki atau perempuan atau cucu laki-laki dari keturunan anak --dengan syarat ayah pewaris tidak ada. Jadi, dalam keadaan demikian salah seorang kakek akan menduduki kedudukan seorang ayah, kecuali dalam tiga keadaan yang akan saya rinci dalam bab tersendiri.
3. Ibu akan memperoleh seperenam (1/6) bagian dari harta yang ditinggalkan pewaris, dengan dua syarat:
  1. Bila pewaris mempunyai anak laki-laki atau perempuan atau cucu laki-laki keturunan anak laki-laki.
  2. Bila pewaris mempunyai dua orang saudara atau lebih, baik saudara laki-laki ataupun perempuan, baik sekandung, seayah, ataupun seibu. Dalilnya firman Allah (artinya):
    "... jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam ..." (an-Nisa': 11).
4. Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki seorang atau lebih akan mendapat bagian seperenam (1/6), apabila yang meninggal (pewaris) mempunyai satu anak perempuan. Dalam keadaan demikian, anak perempuan tersebut mendapat bagian setengah (1/2), dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki pewaris mendapat seperenam (1/6), sebagai pelengkap dua per tiga (2/3). Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam sahihnya bahwa Abu Musa al-Asy'ari r.a. ditanya tentang masalah warisan seseorang yang meninggalkan seorang anak perempuan, cucu perempuan dari keturunan anak laki-lakinya, dan saudara perempuan. Abu Musa kemudian menjawab: "Bagi anak perempuan mendapat bagian separo (1/2), dan yang setengah sisanya menjadi bagian saudara perempuan."
Merasa kurang puas dengan jawaban Abu Musa, sang penanya pergi mendatangi Ibnu Mas'ud. Maka Ibnu Mas'ud berkata: "Aku akan memutuskan seperti apa yang pernah diputuskan Rasulullah saw., bagi anak perempuan separo (1/2) harta peninggalan pewaris, dan bagi cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat bagian seperenam (1/6) sebagai pelengkap 2/3, dan sisanya menjadi bagian saudara perempuan pewaris."
Mendengar jawaban Ibnu Mas'ud, sang penanya kembali menemui Abu Musa al-Asy'ari dan memberi tahu permasalahannya. Kemudian Abu Musa berkata: "Janganlah sekali-kali kalian menanyaiku selama sang alim ada di tengah-tengah kalian."
Catatan
Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki akan mendapatkan bagian seperenam (1/6) dengan syarat bila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki. Sebab bila ada anak laki-laki, maka anak tersebut menjadi penggugur hak sang cucu. Selain itu, pewaris juga tidak mempunyai anak perempuan lebih dari satu orang. Sebab jika lebih dari satu orang, anak-anak perempuan itu berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3), dan sekaligus menjadi penggugur (penghalang) hak waris cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki pewaris.
5. Saudara perempuan seayah satu orang atau lebih akan mendapat bagian seperenam (1/6), apabila pewaris mempunyai seorang saudara kandung perempuan. Hal ini hukumnya sama denga keadaan jika cucu perempuan keturunan anak laki-laki bersamaan dengan adanya anak perempuan. Jadi, bila seseorang meninggal dunia dan meninggalkan saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan seayah atau lebih, maka saudara perempuan seayah mendapat bagian seperenam (1/6) sebagai penyempurna dari dua per tiga (2/3). Sebab ketika saudara perempuan kandung memperoleh setengah (1/2) bagian, maka tidak ada sisa kecuali seperenam (1/6) yang memang merupakan hak saudara perempuan seayah.
6. Saudara laki-laki atau perempuan seibu akan mendapat bagian masing-masing seperenam (1/6) bila mewarisi sendirian. Dalilnya adalah firman Allah (artinya) "jika seseorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta". Dan persyaratannya adalah bila pewaris tidak mempunyai pokok (yakni kakek) dan tidak pula cabang (yakni anak, baik laki-laki atau perempuan).
7. Nenek asli mendapatkan bagian seperenam (1/6) ketika pewaris tidak lagi mempunyai ibu. Ketentuan demikian baik nenek itu hanya satu ataupun lebih (dari jalur ayah maupun ibu), yang jelas seperenam itu dibagikan secara rata kepada mereka. Hal ini berlandaskan pada apa yang telah ditetapkan di dalam hadits sahih dan ijma' seluruh sahabat.
Ashhabus Sunan meriwayatkan bahwa seorang nenek datang kepada Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. untuk menuntut hak warisnya. Abu Bakar menjawab: "Saya tidak mendapati hakmu dalam Al-Qur'an maka pulanglah dulu, dan tunggulah hingga aku menanyakannya kepada para sahabat Rasulullah saw." Kemudian al-Mughirah bin Syu'bah mengatakan kepada Abu Bakar: "Suatu ketika aku pernah menjumpai Rasulullah saw. memberikan hak seorang nenek seperenam (1/6)." Mendengar pernyataan al-Mughirah itu Abu Bakar kemudian memanggil nenek tadi dan memberinya seperenam (1/6). Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar