Sabtu, 03 September 2011

Orang yang boleh berbuka (Tidak Puasa) di Bulan Ramadhan


Orang yang diperbolehkan untuk berbuka pada puasa bulan Ramadhan, dikelompokkan ke dalam tiga golongan:
1.   Kelompok yang diperbolehkan untuk berbuka juga untuk berpuasa
2.   Kelompok  yang diwajibkan untuk berbuka
3.   Kelompok yang tidak boleh berbuka


A.  Orang yang boleh berbuka dan boleh juga berpuasa
Yang termasuk kelompok ini adalah:
1)  Orang yang sakit
Para ulama telah sepakat bahwa orang sakit diperbolehkan untuk berbuka puasa, dan apabila kelak sakitnya sembuh, maka ia wajib mengqadhanya pada hari yang lain (lihat dalam al-Mughni: 3/16). Hal ini didasarkan kepada firman Allah swt berikut ini:


Artinya: "Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain" (QS. Al-Baqarah: 185).
Orang yang sakit ada tiga kategori:
1)  Sakitnya ringan yang tidak akan terlalu terpengaruh dengan puasa atau dengan berbuka, seperti flu ringan, sakit kepala ringan, sakit gigi ringan dan lainnya. Untuk jenis penyakit seperti ini, pengidapnya tidak diperbolehkan untuk berbuka, ia tetap wajib berpuasa
2)  Sakitnya agak berat, yang apabila ia berpuasa, penyakitnya agak bertambah, namun tetap tidak membahayakan pengidapnya. Untuk kelompok ini, sebaiknya ia berbuka dan makruh untuk berpuasa.
3)  Penyakitnya berat sehingga apabila ia berpuasa membahayakan pengidapnya atau bahkan akan menyebabkannya meninggal dunia. Untuk jenis ini, haram pengidapnya untuk melakukan puasa. Hal ini didasarkan kepada firman Allah berikut ini:
Artinya: "Dan janganlah kamu membunuh dirimu" (QS. An-Nisa: 29).
2)  Orang yang sedang bepergian
Orang  yang  bepergian—tentu  bukan  bepergian  yang  biasa  dan  dekat—diperbolehkan  untuk berbuka. Hal ini berdasarkan firman Allah swt berikut ini:


Artinya: "Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain" (QS. Al-Baqarah: 185).
Namun demikian, apabila si musafir tetap melaksanakan puasa, menurut Jumhur ulama,  puasanya tetap sah sah. Namun, menurut Ibnu Umar, Ibn Abbas, Abu Hurairah dan Ibn Hazm, mengatakan bahwa puasa orang yang sedang melakukan perjalanan tidak sah, dan apabila ia tetap berpuasa, ia wajib mengqadhanya pada hari lainnya kelak. Namun, penulis lebih cenderung untuk mengambil pendapat Jumhur ulama karena lebih kuat dan rajih.

Mana yang lebih baik bagi orang yang sedang bepergian; berpuasa atau berbuka?
Para ulama dalam hal ini berbeda pendapat. Namun demikian, hemat penulis, mereka yang sedang bepergian dapat dikelompokkan kepada tiga keadaan:
1.   Perjalanan tersebut sangat memberatkan pelakunya sehingga apabila berpuasa, pelakunya akan sangat terbebani, juga akan sangat sulit, repot dan berat dalam melaksanakan kebaikan-kebaikan lainnya.  Untuk  kondisi  ini,  berbuka  lebih  utama  dari  pada  berpuasa.  Hal  ini  sebagaimana disebutkan dalam hadits di bawah ini:
Artinya: "Rasulullah saw bersabda       kepada para sahabatnya: "Kalian besok akan menghadapi musuh, maka berbuka akan lebih menguatkan tubuh kalian" (HR. Muslim).
2.   Perjalanan tersebut tidak terlalu memberatkan pelakunya, sehingga kalaupun musafir (orang yang bepergian) tersebut tetap berpuasa, tidak akan terbebani dan tidak akan berat dalam melaksanakan kebaikan-kebaikan lainnya. Untuk kondisi seperti ini, berpuasa tentu lebih utama berdasarkan keumuman firman Allah:




Artinya: "Dan berpuasa lebih baik bagimu" (QS. Al-Baqarah: 184).

Artinya: "Abu Darda' berkata: "Kami mengadakan perjalanan bersama Rasulullah saw pada cuaca yang sangat panas. Saking panasnya sampai-sampai orang-orang meletakkan tangannya di atas kepalanya. Di antara kami tidak ada yang melakukan puasa satupun kecuali Rasulullah saw dan Ibn Rawahah" (HR. Bukhari Muslim).
3. Perjalanan tersebut sangat memberatkan si musafir, sehingga apabila ia berpuasa, akan membahayakan kesehatan, tubuh, bahkan nyawanya sendiri. Untuk kondisi seperti ini, musafir wajib berbuka dan haram berpuasa. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits berikut ini:
Artinya: "Dari Jabir bahwasanya ketika Rasulullah saw melakukan perjalanan pada penaklukan kota Mekah, beliau berjalan sehingga sampai di Karam an-Na'im. Demikian juga dengan para
sahabat lainnya. Lalu beliau mengambil satu kendi air dan mengangkatnya sehingga para sahabat lainnya melihatnya. Rasulullah saw lalu meminumnya. Dikatakan kepada beliau bahwa ada sebagian sahabat yang masih berpuasa. Rasulullah saw lalu bersabda: "Mereka orang-orang yang berbuat dosa, mereka orang-orang yang berbuat dosa" (HR. Bukhari Muslim).

Waktu bolehnya berbuka puasa bagi musafir:
1.   Apabila bepergiannya itu dilakukan sebelum terbit atau ketika terbit fajar, dan ia telah berniat untuk berbuka puasa, maka para ulama sepakat, ia boleh berbuka. Karena orang tersebut telah dikategorikan orang yang mengadakan perjalanan (musafir) dan karenanya diperbolehkan berbuka puasa (lihat dalam al-Qawanin al-Fiqhiyyah karya Ibn Jazi halaman 82).
2.   Apabila perjalanannya dilakukan setelah tebit fajar (tengah hari). Untuk kondisi seperti ini, Jumhur ulama (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan satu riwayat menurut Imam Ahmad) berpendapat bahwa orang tersebut tidak diperbolehkan untuk berbuka puasa. Hal ini karena menurut mereka puasa itu adalah ibadah yang berbeda kondisi dan keadaannya seiring dengan kondisi ada di tempat (hadhar) atau dalam keadaan bepergian (safar). Apabila dua kondisi tersebut ada, maka ambil hokum berada di tempat (hadhar) sebagaimana shalat.
Namun, menurut Imam Ahmad, Ishak, Hasan dan Ibnu Taimiyyah, dan pendapat ini hemat penulis  yang  lebih  rajih,  bahwa  orang  tersebut  boleh  berbuka  puasa,  hal  ini  dikarenakan keumuman firman Allah berikut ini:


Artinya: "Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain" (QS. Al-Baqarah:185).

3.   Orang yang mengadakan perjalanan tersebut berniat terlebih dahulu untuk berpuasa, namun karena berbagai hal ia bermaksud untuk berbuka, maka menurut Jumhur ulama diperbolehkan ia berbuka (lihat dalam al-Mughni: 3/19, al-Majmu': 6/260).

Musafir (orang yang melakukan perjalanan) tidak boleh berbuka puasa
Musafir tidak boleh berbuka puasa apabila:
1.   Apabila berniat untuk tinggal di tempat tujuan selamanya, atau tinggal dalam masa lama.
Orang yang bepergian ke suatu tempat dengan tujuan untuk tinggal selamanya di Negara tersebut, atau pergi untuk waktu lama, baik karena pekerjaan, kuliah, sekolah atau lainnya, maka
tidak  boleh  berbuka;  ia  harus  tetap  berpuasa  (menurut  Malikiyyah  dan  Syafi'iyyah,  masa
perjalanan  yang  diperbolehkan  untuk  tidak  berpuasa  adalah  empat  hari,  sedangkan  menurut


Hanabilah lebih dari empat hari dan menurut Hanafiyyah lima belas hari. Artinya, apabila perjalanan tersebut lebih dari waktu tersebut, maka ia harus berpuasa dan tidak boleh berbuka lagi. Namun, alasan ini tidak berdasarkan dalil sebagaimana diungkapkan Ibn Hazm dalam al-Muhalla:
6/244). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:
  Artinya: "Dari Ibn Abbas bahwasannya Rasulullah saw ketika melakukan panaklukan kota Mekah, terjadi pada bulan Ramadhan, dan beliau tetap melakukan puasa" (HR. Bukhari).
Dalam berbagai keterangan di sebutkan bahwa Rasulullah saw ketika menundukkan kota Mekah, beliau tidak berpuasa Ramadhan selama sepuluh atau sebelas hari, namun sisa hari lainnya beliau tetap berpuasa. Ini menunjukkan bahwa apabila diniatkan perjalanan tersebut untuk tinggal selamanya atau dalam waktu yang lumayan lama, maka ia tidak boleh berbuka, harus berpuasa.
2.   Apabila kembali ke negaranya.
Apabila seseorang yang sudah mengadakan perjalanan lalu kembali lagi ke tempat asalnya pada malam hari atau waktu sahur (sebelum Shubuh), maka keesokkan harinya ia harus berpuasa, tidak boleh berbuka. Hal ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Namun, apabila ia kembali ke tempat asalnya pada siang hari, maka menurut pendapat yang lebih kuat, orang tersebut boleh berbuka. Oleh karena itu, apabila pada saat ia kembali tersebut   pada siang hari, isterinya baru saja suci dari haidnya (masa sucinya pada siang hari juga), maka suaminya tadi boleh menggauli isterinya dan tidak ada kifarat bagi keduanya.

      Masalah: Seorang suami       yang sudah tidak kuat lagi hendak melakukan hubungan badan dengan isterinya di siang hari bulan Ramadhan, apakah ia boleh membawa isterinya melakukan bepergian sehingga membolehkannya untuk berbuka, lalu ia menggaulinya?
Menurut pendapat ulama yang lebih rajih, hemat penulis, hal demikian sah-sah saja dan diperbolehkan.
3)  Orang  yang  sudah  sangat  tua  dan  orang  yang  sakit  yang  sudah  tidak  diharapkan  lagi kesembuhannya
Para  ulama  sepakat  bahwa  orang  yang  sudah  sangat  tua  yang  sudah  tidak  kuat  lagi  untuk melakukan ibadah puasa, mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa dan tidak ada qadha baginya. Para ulama kemudian berbeda pendapat, apabila mereka berbuka, apa gantinya?
Jumhur ulama berpendapat mereka harus memberi makan setiap harinya kepada seorang miskin. Imam Malik berpendapat bahwa mereka tidak wajib memberi makan orang miskin, hanya sunnah saja. Sekalipun tidak memberikan, tidak apa-apa.
Dari kedua pendapat tersebut, tentu pendapat Jumhur lebih utama karena sesuai dengan firman
Allah berikut ini:


Artinya:  "Dan  wajib  bagi  orang-orang  yang  berat  menjalankannya  (jika  mereka  tidak  berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin" (QS. Al-Baqarah: 184).

Sementara Imam Malik yang mengatakan tidak perlua membayar fidyah, beralasan sebagaimana pendapatnya Ibnu Abbas dan kebanyakan para sahabat bahwa ayat tersebut sudah dinasakh (dihapus) oleh ayat setelahnya (QS. Al-Baqarah: 185) yang berbunyi:
Artinya: "(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan   (permulaan)   Al-Qur`an   sebagai   petunjuk   bagi   manusia   dan   penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah  kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur" (QS.al-Baqarah: 185).
Dalam ayat ini, demikian menurut Imam Malik, Allah mengatakan bahwa Allah bermaksud untuk memberikan keringanan. Orang  yang sudah tua renta yang tidak kuat untuk berpuasa, tentu diberikan keringanan oleh Allah berupa boleh untuk tidak berpuasa dan dia tidak berkewajiban membayar fidyah, karena ayat fidyah tersebut sudah dinasakh oleh ayat di atas.
Namun, sebagaimana telah dikatakan di atas, bahwa pendapat Jumhur dalam hal ini lebih utama, bahwa orang tersebut harus membayar fidyah. Apabila tidak mempunyai makanan atau harta untuk membayar fidyah, baru tidak mengapa ia tidak membayarnya.
Orang yang sakit yang kecil kemungkinan untuk sembuhnya kembali, dihukumi seperti orang yang sudah tua renta yang tidak mampu untuk berpuasa.
4)  Wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui
Apabila wanita yang sedang hamil atau yang sedang menyusui khawatir apabila ia berpuasa air susunya kering atau janinnya terganggu, maka diperbolehkan bagi keduanya untuk berbuka. Hal ini didasarkan kepada hadits berikut ini:
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya Allah memberikan keringanan kepada orang yang sedang bepergian (musafir) setengah shalat (shalat qashar), dan bagi musafir, wanita yang sedang
hamil dan menyusui, juga diberikan keringanan untuk tidak berpuasa" (HR. Ahmad, dan haditsnya Hasan).
Namun, para ulama berbeda pendapat, apabila wanita hamil atau menyusui tersebut tidak berpuasa, apa gantinya; apakah qadha atau fidyah? Para ulama dalam hal ini terbagi kepada lima pendapat:
Pendapat  pertama,  yaitu  pendapatnya  Imam  Malik,  Imam  Syafi'i  dan  Imam  Ahmad,  wanita tersebut wajib mengqadha dan memberi makan setiap hari satu orang miskin (fidyah).
Pendapat kedua, yaitu pendapat Imam Auzai, ats-Tsauri, Abu Hanifah, Abu Tsur dan Abu 'Ubaid, bahwa wanita tersebut wajib qadha saja.
Pendapat ketiga, yaitu pendapatnya Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan lainnya bahwa wanita tersebut wajib membayar fidyah (memberi makanan kepada minimal satu orang miskin tiap hari). Pendapat ini dipandang pendapat  yang lebih rajih oleh Syaikh Albani. Hal ini berdasarkan riwayat berikut ini:

Artinya: "Ibnu Abbas berkata: "Pada awalnya diberi keringanan bagi kakek-kakek tua, nenek-nenek tua untuk tidak berpuasa apabila keduanya merasa berat (tidak mampu) untuk berpuasa. Keduanya boleh tidak berpuasa, namun harus memberi makan setiap hari seorang miskin. Dan keduanya juga tidak wajib untuk mengqadhanya. Kemudian ayat tersebut dihapus oleh ayat berikutnya: "Apabila menyaksikan bulan Ramadhan,maka berpuasalah" (QS. Al-Baqarah: 185). Setelah turunnya ayat tersebut, kakek-kakek tua dan nenek-nenek tua yang tidak kuat lagi untuk berpuasa, wanita hamil, wanita menyusui apabila keduanya khawatir dengan janin dan bayinya, untuk memberikan makan setiap hari seorang miskin" (HR. Baihaki).
Pendapat keempat, pendapatnya Imam Malik dan Syafi'iyyah, bahwa wanita hamil harus qadha, sementara wanita menyusui harus qadha dan membayar fidyah.
Pendapat kelima, adalah pendapatnya Ibn Hazm yang mengatakan bahwa wanita hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa dan tidak ada kewajiban qadha juga tidak ada kewajiban fidyah. Karena, lanjut Ibn Hazm, tidak ada nashnya yang mengatakan hal itu. Qadha hanyalah diperuntukkan bagi orang sakit, musafir, wanita yang haid dan nifas juga orang yang sengaja muntah. Demikian juga fidyah, hanyalah untuk orang yang tidak kuat lagi berpuasa karena sudah lanjut usia. Untuk itu, wanita hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa dan tidak ada kewajiban membayar fidyah, juga tidak ada kewajiban qadha (lihat al-Muhalla: 6/265).


Dari kelima pendapat di atas, penulis lebih condong untuk mengambil pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Umar, bahwa wanita hamil atau menyusui boleh tidak berpuasa dan sebagai gantinya, ia wajib membayar fidyah, memberi makan kepada fakir miskin minimal satu orang perharinya, sesuai dengan jumlah puasa yang ditinggalkannya.

B.  Orang yang wajib berbuka dan wajib mengqadha
Yang termasuk kategori ini adalah:
1.   Wanita yang sedang haid dan nifas
Para ulama sepakat bahwa wanita yang sedang haid dan nifas (darah yang keluar karena melahirkan), tidak sah bahkan haram puasanya, dan wajib membatalkannya serta wajib qadha baginya  (lihat  dalam  al-Mughni:  3/142,  al-Majmu':  6/259).  Hal  ini  didasarkan  kepada  hadits berikut ini:
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Bukankah apabila wanita haid, ia tidak shalat dan tidak puasa? Maka itulah salah satu cirri dan bukti kurangnya agama wanita" (HR. Bukhari).
Artinya: "Siti Aisyah berkata: "Kami (isteri-isteri Rasulullah saw) dalam keadaan haid pada masa Rasulullah saw, maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa, namun tidak diperintahkan
untuk mengqadha shalat" (HR. Muslim).

Hal-hal yang terkait dengan wanita haid dan nifas
1.   Apabila wanita yang sedang haid tiba-tiba berhenti darah haidnya dan suci pada siang hari, maka wanita itu harus tetap tidak berpuasa. Apabila suaminya datang siang hari dari bepergian jauh, keduanya boleh melakukan hubungan badan dan tanpa membayar kifarat
2.   Apabila wanita tersebut telah suci sebelum terbit fajar, lalu ia berniat untuk puasa, maka sah puasanya, sekalipun ia mengakhirkan mandinya setelah terbit fajar. Demikian menurut Jumhur ulama.
3.   Darah nifas adalah darah yang keluar saat melahirkan. Wanita yang masih dalam tahap 'pecah empedu'nya belum dipandang telah nifas, dan karenanya ia tetap wajib untuk shalat.
4.   Wanita  yang  sedang  istihadah  (mengeluarkan  darah  di  luar  waktu  biasanya  haid,  darah penyakit), tetap wajib untuk berpuasa dan shalat, karena darah tersebut bukan darah haid, akan tetapi darah penyakit. Demikian Ijma' para ulama.

Bolehkah meminum obat agar tidak haid selama bulan Ramadhan?
Apabila obat tersebut tidak membahayakan diri dan tubuh si wanita, maka silahkan saja meminumnya. Dan ketika ia tidak mengalami haid lantaran obat tersebut, ia wajib untuk terus melakukan puasa Ramadhan.
2.   Orang yang apabila berpuasa, akan membahayakan diri dan nyawanya.
Untuk orang yang dalam kondisi seperti ini, diwajibkan untuk berbuka dan wajib mengqadhanya pada hari lain (lihat al-Muhalla: 6/228, al-Majmu': 6/262).

C.  Orang yang tidak boleh berbuka
Orang yang tidak boleh berbuka puasa Ramadhan adalah setiap orang muslim yang balig, berakal, sehat, ada ditempat (tidak sedang bepergian), dan wanita yang suci dari darah haid juga suci dari nifas.

Qadha puasa Ramadhan
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan qadha puasa Ramadhan ini:
1.   Orang yang berbuka puasa tanpa alasan syar'i (tanpa udzur)
Orang yang tidak berpuasa atau berbuka puasa dengan sengaja, menurut sebagian besar para ulama
wajib malakukan qadha, baik berbukanya itu tanpa alasan syar'i maupun karena ada alasan (udzur)


yang diperbolehkan oleh syar'i. Namun, para ulama berbeda pendapat mengenai qadha bagi orang yang berbuka puasa dengan sengaja tanpa ada alasan yang diperbolehkan oleh syar'i.
Sebagian ulama seperti Ibnu Mubarak, ats-Tsauri, Ishak, Imam Malik   dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa orang yang berbuka puasa dengan sengaja tanpa alasan yang syar'i, wajib mengqadha puasa yang ditinggalkannya berikut membayar kifarah sebesar kifarah orang yang melakukan hubungan badan di siang hari.
Hal ini, dikarenakan orang yang berbuka dengan sengaja pada siang hari bulan Ramadhan disamakan dengan orang yang melakukan hubungan badan di siang hari. Menurut kelompok ini, illat, sebab, dilarangnya melakukan hubungan badan di siang hari adalah karena tidak menghormati bulan Ramadhan (al-intihak bi syahri ramadhan), demikian juga dengan orang yang berbuka dengan sengaja pada  siang  hari  tanpa  alasan  syar'i.  Keduanya  sama-sama  tidak  menghormati  bulan  Ramadhan. Apabila  orang  yang  melakukan  hubungan  badan  pada  siang  hari  dihukum  dengan  keharusan membayar denda diantaranya dengan berpuasa dua bulan berturut-turut, maka demikian pula dengan orang yang dengan sengaja berbuka pada siang hari di bulan Ramadhan.
Sedangkan menurut Syafi'iyyah dan Imam Ahmad bin Hanbal, orang tersebut hanya wajib untuk qadha saja, dan tidak wajib membayar kifarah.
Sementara menurut Ibnu Hazm, orang yang dengan sengaja berbuka pada bulan Ramadhan tanpa alasan yang jelas, tidak diwajibkan untuk mengqadha. Hal ini karena menutut Ibn Hazm, puasa Ramadhan termasuk ibadah yang waktunya ditentukan. Dan pada dasarnya, setiap ibadah yang ditentukan waktunya, apabila ditinggalkan tanpa alasan syar'i, ia tidak wajib diqadha kecuali ada keterangan lain yang mewajibkan untuk mengqadhanya (nash jadid). Mengganti puasa Ramadhan dengan puasa lainnya yang dipandang wajib, tentu tidak diijinkan oleh Allah, karena berarti membuat aturan baru yang tidak ada ketentuannya dari Allah swt (lihat dalam al-Muhalla: 6/180, masalah nomor 735).
Dari beberapa pendapat di atas, penulis lebih cenderung untuk mengatakan bahwa orang yang dengan sengaja berbuka pada puasa Ramadhan, tidak ada qadha baginya. Hal ini dikarenakan, sebagaimana diungkapkan Ibn Hazm, bahwa tidak ada nash  yang memerintahkan untuk mengqadha bagi orang tersebut. Bahkan, apabila kita qiyaskan dengan orang yang melakukan hubungan badan di siang hari sekalipun, untuk jenis ini, Rasulullah saw juga tidak memerintahkan mereka untuk mengqadha puasanya, hanya langsung mewajibkan untuk membayar kafarah.
Untuk itu, penulis lebih condong untuk mengatakan bahwa orang yang berbuka dengan sengaja pada  bulan  Ramadhan  dapat  memilih  dua  hal:  Pertama,  membayar  kifarah  yang  besarnya  sama dengan kifarah orang yang melakukan hubungan badan di siang hari, karena illatnya sama yakni telah mengotori kehormatan bulan Ramadhan (al-intihak syahr ramadhan), atau kedua, ia bertaubat, untuk tidak mengulangi perbuatan dosanya itu. Opsi yang kedua ini sesuai dengan ucapan Ibnu Mas'ud berikut ini:
Artinya: Ibnu Mas'ud berkata: "Barangsiapa yang berbuka dengan sengaja satu hari dari puasa Ramadhan tanpa alasan syar'i yang diperbolehkan, juga tidak karena adanya rukhsah, maka tidaklah cukup tebusannya sekalipun dengan puasa satu tahun penuh" (HR. Ibn Abi Syaibah dan sanadnya Shahih).
Dalam hadits lain, sekalipun dhaif namun dikuatkan oleh keterangan-keterangan lain, dikatakan:
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang berbuka satu hari saja dengan sengaja dan tanpa alasan syari pada siang hari bulan Ramadhan, maka ia tidak dapat ditebus sekalipun dengan berpuasa satu tahun lamanya" (HR. Turmudzi, Abu Dawud dan Baihaki).
Hadits ini dhaif lantaran di antara rawinya ada yang bernama Hubaib bin Abi Tsabit yang oleh para ulama dipandang lemah dan dipandang ayahnya tidak mendengar hadits tersebut dari Abu Hurairah  sebagaimana  dikatakan  oleh  Ibn  Hajar  al-Asqalani  dalam  Fathul  Bari  (4/161).  Namun


demikian, hadits ini dapat dipakai juga karena dikuatkan oleh keterangan banyak keterangan lain yang maknanya sama, yang salah satunya ucapan Ibnu Mas'ud di atas.
Sementara bagi orang yang muntah dengan sengaja, tidak dapat disamakan dengan orang yang berbuka puasa dengan sengaja. Bagi orang yang muntah dengan disengaja, maka ia wajib mengqadha puasanya, hal ini lantaran dalam masalah muntah disengaja terdapat nash shahih yang memerintahkan untuk mengqadhanya. Nash dimaksud adalah:
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang terpaksa harus muntah (tidak disengaja), maka ia  tidak  perlu  mengqadha  (tidak  membatalkan  puasa). Namun, barangsiapa yang muntah dengan
disengaja,  maka  ia  harus  mengqadha"  (HR.  Abu  Dawud,  Turmudzi  dan  disahihkan  oleh  Syaikh Albani).

2.   Mengqadha puasa Ramadhan tidak wajib segera
Mengqadha puasa Ramadhan yang ditinggalkan karena ada udzur syar'i, seperti sakit, haid, bepergian atau yang lainnya, tidak wajib segera dilakukan. Mengqadha puasa Ramadhan yang tertinggal, hukumnya wajib muwassa' artinya kewajiban untuk melaksanakannya luas menurut kapan waktu dan keadaan leluasa dan maunya. Hal ini didasarkan kepada hadits berikut ini:
Artinya: Siti Aisyah berkata: "Saya pernah bolong berpuasa pada bulan Ramadhan, dan saya tidak dapat mengqadhanya melainkan hanya pada bulan Sya'ban" (HR. Bukhari Muslim).
Hadits   di   atas   menunjukkan   bahwa   mengqadha   puasa   Ramadhan   yang   tertinggal   boleh dilaksanakan kapan saja, karena buktinya Siti Aisyah pun baru dapat mengqadhanya pada bulan Sya'ban. Kalau saja mengqadha puasa Ramadhan yang tertinggal ini harus sesegera mungkin, tentu Siti Aisyah akan segera melaksanakannya. Berdasarkan hadits ini juga Ibn Hajar al-Asqalany (Fathul Bari: 4/191) berpendapat: "Hadits ini menjadi dalil bolehnya mengakhirkan mengqadha puasa pada bulan Ramadhan yang tertinggal baik karena udzur (maksudnya tidak dapat segera mengqadhanya karena sakit atau udzur lainnya), maupun tanpa ada udzur (tidak ada alasan untuk mengakhirkan mengqadha puasa".
Hanya saja, menyegerakan untuk mengqadha tentu lebih baik sebagaimana disinggung oleh keumuman ayat berikut ini
Artinya: "Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya" (QS. Al-Mukminun: 61).

Bagaimana  apabila  belum  mengqadha  puasa  Ramadhan  sehingga  bulan  Ramadhan  baru datang?
Apabila seseorang belum mengqadha puasa Ramadhannya sampai datang lagi bulan Ramadhan yang lain, maka yang harus dia lakukan adalah puasa Ramadhan seperti biasa dan ketika bulan Syawal nanti tiba, ia harus segera mengqadha hari-hari yang ditinggalkannya itu, tanpa ada tambahan juga tanpa ada kewajiban untuk memberi makan fakir miskin atau kifarat lainnya.
Hal ini dikarenakan tidak ada nash yang memerintahkan bahwa orang yang belum mengqadha pusanya sampai datang bulan Ramadhan yang baru di samping harus mengqadha puasanya juga harus membayar diyat berupa memberi makan orang-orang miskin. Karena tidak ada keterangan itulah, maka orang yang belum mengqadha tersebut cukup mengqadha puasa yang sempat ditinggalkannya pada bulan Ramadhan tahun sebelumnya. Pendapat ini adalah pendapat Madzhab Abu Hanifah dan Ibn Hazm dan pendapat ini, hemat penulis pendapat yang lebih rajih (lebih kuat).
Namun,  menurut  Imam  Malik,  juga  Imam  Syafi'i,  orang   yang  belum  mengqadha  puasa Ramadhannya dengan sengaja sampai datang bulan Ramadhan yang baru, maka di samping harus mengqadha puasanya, juga setiap hari ia mengqadha diwajibkan juga untuk memberi makan orang- orang miskin (jumlah orang miskinnya yang jelas lebih dari satu, tidak ditentukan)  masing-masing satu mud (lihat dalam al-Muhalla: 6/260, dan Majmu' al-Fatawa: 6/412).


Tambahan kewajiban memberi makanan satu mud kepada tiap-tiap orang miskin ini, boleh jadi dimaksudkan sebagai hukuman atas kelalaian dan keteledorannya. Namuan, sayang, tambahan dari Imam Syafi'i dan Imam Malik ini, sepengetahuan penulis, tidak ada dalil dan keterangannya. Untuk itu, penulis lebih condong untuk mengambil madzhab Abu Hanifah dan Ibn Hazm di atas.
3.   Mengqadha puasa Ramadhan yang tertinggal tidak mesti berurutan
Orang yang bolong puasa Ramadhannya dengan ada alasan syar'i, misalnya tiga atau empat hari, maka  ketika  mengqadha  tidak  diharuskan  berurutan  dan  beriringan.  Maka,  ia  boleh  mengqadha minggu ini satu hari, kemudian minggu berikutnya satu hari, kemudian bulan berikutnya dua kali dan seterusnya. Hal ini lantaran dalam ayat berikut ini disebutkan:


Artinya: "Maka gantilah (qadhalah) pada hari-hari yang lain".

Sehubungan dengan ayat ini Ibnu Abbas mengatakan:
Artinya: "Boleh ia mengqadhanya dengan jalan berbeda-beda (maksudnya tidak berurutan)" (HR. Darul Quthni, Baihaki, dan sanad hadits tersebut Shahih)

Demikian juga Abu Hurairah dan Anas berkata dalam makna yang sama:
Artinya: "Abu Hurairah berkata: "Jika ia mau (qadhalah) dengan diselang-seling (tidak berurutan)" (HR. Darul Quthni)


Artinya: "Anas berkata: "Jika kamu mau, qadhalah puasa Ramadhan itu dengan berurutan, dan jika kamu mau juga qadha dengan tidak berurutan" (HR. Ibn Abi Syaibah dan Baihaki)

Demikian juga para imam madzhab yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal) membolehkan untuk memilih antara berurutan maupun tidak (lihat dalam al-Muhalla: 6/261) dan Majmu' al-Fatawa: 6/312).
Sedangkan riwayat Abu Hurairah yang mengatakan:
Artinya: "Barangsiapa yang mempunyai hutang puasa Ramadhan, maka qadhalah dengan berurutan dan jangan diputus-putus" (HR. Darul Quthni dan Baihaki).



Hadits di atas adalah hadits Dhaif, dan karenanya tidak dapat dijadikan pegangan dalam berhujjah.
4.   Orang yang meninggal dunia sementara dia mempunyai kewajiban puasa
Bagaimana apabila ada orang meninggal dunia pada bulan Ramadhan ketika puasa Ramadhannya belum lengkap satu bulan, apakah ahli warisnya wajib mengqadhakan atau bagaimana?
Para ulama dalam hal ini terbagi kepada tiga kelompok.
Kelompok pertama berpendapat  bahwa ahli waritsnya tidak wajib mengqadhakannya baik untuk puasa Ramadhannya maupun untuk puasa nadzarnya. Pendapat ini adalah pendapatnya Madzhab Abu Hanifah, Malik, dan sebagian madzhab Syafi'i (lihat dalam Fathul Qadir: 2/360, Majmu' al-Fatawa:
6/412). Oleh karena itu, menurut pendapat ini, orang yang meninggal dunia pada bulan Ramadhan atau orang yang meninggal dunia dan memiliki kewajiban puasa nadzar yang belum dilaksanakannya, tidak wajib diqadha dan tidak wajib dibayar oleh ahli waritsnya. Hal ini di antaranya didasarkan kepada dalil-dalil berikut ini:
Artinya: "Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya
(QS.An-Najm:39)
Artinya:  "Rasulullah  Saw  bersabda:  "Apabila  anak  Adam  meninggal,  maka  terputuslah  amalnya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang selalu mendoakannya" (HR. Muslim)


Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang sakit pada bulan Ramadhan, kemudian ia terus menerus sakit sehingga meninggal, maka tidak harus membayar fidyah (ahli waritsnya). Namun, jika ia sehat, namun belum mengqadha juga sehingga ia meninggal, maka harus membayar fidyah (ahli waritsnya)" (HR. Abdurrazaq dengan sanad dhaif)
Dari Amurah bahwasannya ibunya meninggal dunia padahal ia mempunyai puasa Ramadhan. Lalu ia bertanya kepada Siti Aisyah: "Apakah saya harus mengqadhakan untuknya?" Siti Aisyah
menjawab: "Tidak, akan tetapi cukup dengan bersedekah saja setiap hari yang ditinggalkannya dengan setengah sha' kepada setiap orang miskin" (HR. Thahawi, hanya saja sanad hadits tersebut lemah (dhaif).
Sayang, hadits-hadits yang disodorkan kelompok ini dhaif dan karenanya tidak dapat dijadikan pegangan.
Kelompok kedua adalah pendapatnya Abu Tsaur, Imam Nawawi dan Ibn Hazm (lihat dalam al- Muhalla: 7/2) yang berpendapat bahwa puasa nadzar dan puasa qadha yang belum dibayarnya harus dipuasakan oleh ahli waritsnya. Hal ini didasarkan kepada hadits-hadits berikut ini:
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Barang siapa yang meninggal sementara dia masih punya hutang puasa, maka wali (atau ahli waritsnya) hendaklah berpuasa untuknya" (HR. Bukhari Muslim).
Artinya: "Dari Ibnu Abbas, bahwasannya seorang wanita dari kabilah Juhainah datang kepada Rasulullah Saw seraya berkata: "Sesungguhnya ibu saya sebelum meninggal dulu pernah bernadzar
untuk  melakukan  ibadah  haji.  Apakah  saya  harumelaksanakan  hajinya  itu?"  Rasulullah  Saw bersabda: "Ya, hajikanlah dia. Bukankah kalau ibu kamu mempunyai hutang, kamu harus membayarnya? Tunaikanlah hutang kamu kepada Allah, karena hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar" (HR. Bukhari).
Artinya: "Buraidah berkata: "Ketika saya sedang duduk di samping Rasulullah Saw, tiba-tiba datang seorang perempuan sambil berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya saya bersedekah seorang budak wanita untuk ibu saya yang sudah meninggal". Rasulullah bersabda: "Kamu dan ibumu akan mendapatkan pahala". Wanita itu berkata lagi: "Ya Rasulullah, ibu saya yang sudah meninggal itu juga mempunyai hutang puasa sebulan, apakah saya harus berpuasa untuknya?" Rasulullah bersabda: "Berpuasalah untuknya". Wanita itu berkata lagi: "Dia juga belum pernah melaksanakan ibadah haji, apakah saya boleh berhaji untuknya?" Rasulullah bersabda: "Berhajilah untuknya" (HR. Muslim).
Ketiga, kelompok Imam Ahmad, Ishak, Imam Laits dan lainnya yang berpendapat bahwa yang harus dipuasai hanyalah puasa nadzarnya saja, sementara puasa qadhanya tidak perlu (Fathul Bari:
4/228). Hal ini di antaranya berdasarkan argumen berikut ini:
1.      Dalam hadits Aisyah yang mengatakan: "
Barang siapa yang meninggal sementara dia masih punya  hutang  puasa,  maka  wali  (atau  ahli  waritsnya)  hendaklah  berpuasa  untuknya"  (HR. Bukhari Muslim), itu sifatnya umum. Sedangkan dalam hadits Ibnu Abbas yang mengatakan: "


Sesungguhnya ibu saya sebelum meninggal dulu pernah bernadzar untuk melakukan ibadah haji. Apakah saya harus melaksanakan hajinya itu?" Rasulullah Saw bersabda: "Ya, hajikanlah dia. Bukankah kalau ibu kamu mempunyai hutang, kamu harus membayarnya? Tunaikanlah hutang kamu kepada Allah, karena hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar" (HR. Bukhari),
adalah bersifat khusus. Untuk itu, hadits Aisyah harus dibawa pemahamannya pada hadits Ibn Abbas ini, bahwa yang harus dipuasai itu hanyalah puasa nadzar saja dan tidak yang lainnya.
2.   Dalam hadits lain disebutkan:
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang sakit pada bulan Ramadhan, kemudian meninggal sebelum ia berpuasa, maka gantilah dengan memberi makanan, dan tidak mesti mengqadhanya. Namun, jika ia mempunyai hutang puasa nadzar, maka walinya harus mengqadhakannya" (HR. Abu Dawud dan sanadnya Shahih).
Dari beberapa pendapat di atas, perlu penulis ketengahkan terlebih dahulu bahwa para ulama telah sepakat orang yang meninggal dunia sementara dia mempunyai beberapa hutang shalat wajib yang belum ditunaikan, maka walinya atau siapapun tidak usah menggantikan sahalatnya itu.
Demikian juga apabila orang yang meninggal tersebut ketika masa hidupnya sangat berat untuk
melakukan puasa, karena sakit misalnya atau udzur lainnya, kemudian apabila ia meninggal padahal masih mempunyai hutang puasa, maka para ulama juga sepakat, wali dan yang lainnya tidak perlu mengganti puasanya itu. Namun, apabila orang yang meninggal tersebut sehat dan kuat, namun ketika ia meninggal dunia masih mempunyai tunggangan puasa yang belum dibayarnya, para ulama berbeda pendapat sebagaimana dipaparkan di atas.
Dari beberapa pendapat tersebut, penulis berkesimpulan sebagai berikut:
1). Orang yang mempunyai udzur misalnya sakit, atau sangat tua, sehingga ia tidak mampu membayar hutang puasanya itu sehingga meninggal dunia, maka untuk orang seperti ini tidak ada kewajiban untuk mengqadhanya juga tidak ada kewajiban untuk menggantinya dengan memberi makan fakir miskin, tidak untuk ahli waritsnya tidak juga untuk yang lainnya.
2). Apabila orang yang meninggal tersebut sehat, kuat dan mampu untuk berpuasa, tidak ada udzur, lalu meninggal padahal ia masih mempunyai hutang puasa   yang belum dibayarnya, maka ahli warits atau walinya wajib berpuasa untuknya.
3). Apabila ia meninggal dunia, sementara dia mempunyai hutang puasa nadzar yang belum dipenuhinya, baik orang tersebut mempunyai udzur ataupun tidak, maka ahli waritsnya tetap harus berpuasa untuk menggantikannya.
Kesimpulan ini diperoleh (bahwa baik puasa nadzar maupun qadha wajib dipuasakan oleh ahli warits atau walinya) karena hadits Aisyah yang bersifat umum tidak dapat dikhususkan oleh hadits Ibnu Abbas. Hal ini lantaran tidak ada pertentangan di antara kedua hadits tersebut, sementara dalam kaidah Ushul Fiqh dikatakan bahwa hadits yang umum ditarik kepada hadits yang khusus itu manakala terjadi pertentangan di antara keduanya ('indat ta'arrudh). Namun, apabila tidak terjadi pertentangan, maka tidak boleh ditarik dan masing-masing berdiri sendiri, dipergunakan menurut kandungan hukumnya masing-masing.
4). Orang yang meninggal di tengah bulan Ramadhan, misalnya meninggal pada tanggal 10 Ramadhan atau 15 Ramadhan, maka hari-hari Ramadhan yang tidak dilaluinya (dua puluh hari   atau lima belas hari lainnya) tidak wajib diganti dengan puasa atau dengan memberi makan. Hal ini lantaran ketidakmampuannya untuk berpuasa bukan karena sebab dirinya, tapi karena sebab dari Allah, berupa kematian yang tidak dapat dicegah oleh siapapun juga. Wallahu 'alam.

1 komentar:

  1. kalau saya org nya cupu dan loyo.. saya tdk becus kerja dan nyari jodoh, saya sejak kecil sering dihina, dimanfaatkan, dibohongi org.. apakah org spt saya wajib puasa?

    BalasHapus