Orang yang diperbolehkan untuk berbuka pada puasa bulan Ramadhan, dikelompokkan ke dalam tiga golongan:
1. Kelompok yang diperbolehkan untuk berbuka juga
untuk berpuasa
2. Kelompok yang diwajibkan untuk berbuka
3. Kelompok
yang tidak boleh berbuka
A. Orang yang boleh berbuka dan boleh juga berpuasa
Yang
termasuk kelompok ini adalah:
1) Orang yang sakit
Para ulama telah sepakat
bahwa orang sakit diperbolehkan untuk berbuka puasa, dan
apabila kelak sakitnya sembuh, maka ia wajib mengqadhanya pada hari yang lain (lihat dalam al-Mughni: 3/16). Hal ini didasarkan kepada firman Allah swt berikut ini:
Artinya: "Dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain" (QS. Al-Baqarah: 185).
Orang yang sakit ada tiga
kategori:
1) Sakitnya
ringan yang tidak akan terlalu terpengaruh
dengan puasa atau dengan berbuka, seperti flu ringan, sakit kepala ringan,
sakit gigi ringan dan lainnya. Untuk jenis penyakit seperti ini, pengidapnya
tidak diperbolehkan untuk berbuka, ia tetap wajib berpuasa
2) Sakitnya agak berat, yang apabila ia berpuasa,
penyakitnya agak bertambah, namun tetap tidak membahayakan pengidapnya. Untuk kelompok ini, sebaiknya ia berbuka dan makruh untuk berpuasa.
3) Penyakitnya
berat sehingga apabila ia berpuasa
membahayakan pengidapnya atau bahkan akan menyebabkannya meninggal dunia. Untuk jenis ini, haram pengidapnya untuk melakukan
puasa. Hal ini didasarkan kepada firman
Allah berikut ini:
Artinya:
"Dan janganlah kamu membunuh
dirimu" (QS. An-Nisa: 29).
2) Orang yang sedang
bepergian
Orang
yang
bepergian—tentu
bukan
bepergian
yang
biasa
dan
dekat—diperbolehkan
untuk
berbuka. Hal ini berdasarkan firman
Allah swt berikut ini:
Artinya: "Dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain" (QS. Al-Baqarah: 185).
Namun demikian, apabila si musafir tetap melaksanakan
puasa, menurut Jumhur ulama,
puasanya
tetap sah sah. Namun, menurut Ibnu Umar, Ibn Abbas,
Abu Hurairah dan Ibn Hazm, mengatakan bahwa puasa orang yang sedang melakukan perjalanan tidak sah, dan apabila ia tetap berpuasa, ia wajib mengqadhanya pada hari lainnya kelak.
Namun, penulis lebih cenderung
untuk mengambil pendapat Jumhur ulama
karena lebih kuat dan rajih.
Mana yang lebih baik bagi
orang yang sedang bepergian; berpuasa
atau berbuka?
Para ulama dalam
hal ini berbeda pendapat. Namun demikian, hemat penulis, mereka yang sedang bepergian dapat dikelompokkan kepada tiga keadaan:
1. Perjalanan tersebut
sangat memberatkan pelakunya sehingga
apabila berpuasa, pelakunya
akan sangat terbebani, juga akan sangat sulit, repot dan berat dalam
melaksanakan kebaikan-kebaikan lainnya.
Untuk kondisi ini,
berbuka lebih utama dari
pada berpuasa. Hal
ini sebagaimana disebutkan dalam hadits di bawah ini:
Artinya: "Rasulullah saw bersabda kepada
para sahabatnya: "Kalian besok akan menghadapi
musuh, maka berbuka akan lebih menguatkan
tubuh kalian" (HR. Muslim).
2. Perjalanan
tersebut tidak terlalu memberatkan pelakunya,
sehingga kalaupun musafir (orang yang
bepergian) tersebut tetap berpuasa, tidak akan terbebani dan tidak akan berat dalam melaksanakan
kebaikan-kebaikan lainnya. Untuk kondisi seperti ini, berpuasa tentu lebih utama berdasarkan
keumuman firman Allah:
Artinya:
"Dan berpuasa lebih baik bagimu"
(QS. Al-Baqarah: 184).
Artinya: "Abu Darda' berkata: "Kami mengadakan perjalanan bersama Rasulullah saw pada cuaca yang sangat panas. Saking panasnya sampai-sampai orang-orang meletakkan tangannya di atas kepalanya. Di antara kami tidak ada yang melakukan
puasa satupun kecuali
Rasulullah saw dan Ibn Rawahah" (HR. Bukhari Muslim).
3. Perjalanan tersebut sangat memberatkan si musafir,
sehingga apabila ia berpuasa, akan membahayakan
kesehatan, tubuh, bahkan nyawanya
sendiri. Untuk kondisi seperti ini, musafir wajib berbuka dan haram berpuasa. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits berikut
ini:
Artinya: "Dari Jabir
bahwasanya ketika Rasulullah saw melakukan
perjalanan pada penaklukan kota Mekah, beliau berjalan
sehingga sampai di Karam an-Na'im. Demikian juga dengan
para
sahabat lainnya. Lalu beliau mengambil satu kendi air
dan mengangkatnya sehingga para sahabat
lainnya melihatnya. Rasulullah saw lalu meminumnya. Dikatakan kepada beliau bahwa ada
sebagian sahabat yang masih berpuasa.
Rasulullah saw lalu bersabda: "Mereka orang-orang yang berbuat dosa, mereka orang-orang yang berbuat dosa"
(HR. Bukhari Muslim).
Waktu bolehnya berbuka puasa
bagi musafir:
1. Apabila bepergiannya itu dilakukan sebelum
terbit atau ketika terbit fajar, dan ia telah berniat untuk berbuka puasa, maka para ulama sepakat, ia boleh
berbuka. Karena orang tersebut telah dikategorikan orang yang mengadakan perjalanan (musafir) dan karenanya diperbolehkan berbuka puasa
(lihat dalam al-Qawanin
al-Fiqhiyyah karya Ibn Jazi halaman
82).
2. Apabila perjalanannya dilakukan setelah tebit fajar (tengah hari). Untuk kondisi seperti ini,
Jumhur ulama (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan satu riwayat menurut Imam
Ahmad) berpendapat bahwa orang tersebut
tidak diperbolehkan untuk berbuka
puasa. Hal ini karena menurut mereka puasa itu adalah ibadah yang berbeda
kondisi dan keadaannya seiring dengan
kondisi ada di tempat (hadhar) atau dalam keadaan bepergian
(safar). Apabila dua kondisi tersebut
ada, maka ambil hokum
berada di tempat (hadhar) sebagaimana shalat.
Namun, menurut Imam
Ahmad, Ishak, Hasan dan Ibnu Taimiyyah, dan pendapat
ini hemat penulis yang lebih rajih, bahwa orang
tersebut
boleh berbuka
puasa, hal ini
dikarenakan keumuman firman
Allah berikut ini:
Artinya: "Dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari
yang lain" (QS. Al-Baqarah: 185).
3. Orang yang mengadakan perjalanan tersebut berniat terlebih
dahulu untuk berpuasa,
namun karena berbagai hal ia bermaksud untuk berbuka,
maka menurut Jumhur ulama
diperbolehkan ia berbuka (lihat dalam al-Mughni: 3/19, al-Majmu': 6/260).
Musafir (orang yang
melakukan perjalanan) tidak boleh berbuka puasa
Musafir
tidak boleh berbuka puasa apabila:
1. Apabila berniat untuk tinggal di tempat
tujuan selamanya, atau tinggal dalam masa lama.
Orang yang bepergian ke suatu tempat dengan tujuan untuk tinggal
selamanya di Negara
tersebut, atau pergi untuk waktu lama, baik karena pekerjaan, kuliah,
sekolah atau lainnya,
maka
tidak
boleh
berbuka;
ia
harus
tetap
berpuasa
(menurut Malikiyyah dan Syafi'iyyah, masa
perjalanan yang diperbolehkan
untuk
tidak
berpuasa
adalah
empat hari, sedangkan menurut
Hanabilah
lebih dari empat hari dan menurut Hanafiyyah lima belas hari. Artinya, apabila perjalanan
tersebut lebih dari waktu tersebut, maka
ia harus berpuasa dan tidak boleh berbuka lagi. Namun, alasan ini tidak berdasarkan dalil sebagaimana diungkapkan Ibn Hazm dalam al-Muhalla:
6/244).
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:
Artinya: "Dari Ibn Abbas bahwasannya Rasulullah saw ketika melakukan panaklukan kota Mekah, terjadi pada bulan Ramadhan, dan beliau tetap melakukan puasa" (HR. Bukhari).
Dalam berbagai keterangan di sebutkan bahwa Rasulullah saw ketika menundukkan kota Mekah, beliau tidak berpuasa Ramadhan selama sepuluh atau sebelas hari, namun
sisa hari lainnya beliau tetap berpuasa. Ini menunjukkan bahwa
apabila diniatkan perjalanan tersebut untuk tinggal selamanya atau dalam waktu
yang lumayan lama, maka
ia tidak boleh berbuka, harus berpuasa.
2. Apabila kembali ke negaranya.
Apabila seseorang yang sudah mengadakan perjalanan lalu kembali lagi ke tempat asalnya
pada malam
hari atau waktu sahur (sebelum Shubuh), maka keesokkan
harinya ia harus berpuasa,
tidak boleh berbuka. Hal ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Namun,
apabila ia kembali ke tempat
asalnya pada siang hari, maka menurut
pendapat yang lebih kuat, orang tersebut boleh berbuka. Oleh karena itu, apabila pada saat ia kembali tersebut pada siang hari, isterinya baru saja suci dari haidnya
(masa sucinya pada siang hari juga), maka suaminya tadi
boleh menggauli isterinya dan tidak
ada kifarat bagi keduanya.
Masalah: Seorang suami yang sudah tidak
kuat lagi hendak
melakukan hubungan
badan dengan isterinya di siang hari bulan Ramadhan, apakah ia
boleh membawa isterinya
melakukan bepergian sehingga membolehkannya untuk
berbuka, lalu ia menggaulinya?
Menurut pendapat ulama
yang lebih rajih, hemat penulis, hal
demikian sah-sah saja dan
diperbolehkan.
3) Orang
yang
sudah
sangat
tua
dan
orang
yang
sakit
yang
sudah
tidak
diharapkan
lagi
kesembuhannya
Para ulama
sepakat
bahwa
orang
yang
sudah sangat tua yang sudah tidak kuat lagi untuk melakukan ibadah
puasa, mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa
dan tidak ada qadha baginya. Para ulama kemudian berbeda
pendapat, apabila mereka berbuka, apa
gantinya?
Jumhur ulama berpendapat mereka harus memberi makan
setiap harinya kepada seorang miskin.
Imam Malik berpendapat bahwa mereka tidak wajib memberi makan orang miskin, hanya sunnah saja. Sekalipun tidak memberikan,
tidak apa-apa.
Dari kedua pendapat
tersebut, tentu pendapat
Jumhur lebih utama karena sesuai dengan firman
Allah berikut ini:
Artinya: "Dan
wajib
bagi
orang-orang
yang
berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin" (QS. Al-Baqarah: 184).
Sementara Imam
Malik yang mengatakan tidak perlua membayar fidyah, beralasan
sebagaimana pendapatnya Ibnu Abbas dan kebanyakan para sahabat bahwa ayat tersebut
sudah dinasakh (dihapus) oleh ayat setelahnya (QS. Al-Baqarah:
185) yang berbunyi:
Artinya:
"(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah)
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur`an sebagai
petunjuk bagi
manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk
itu dan pembeda (antara
yang hak dan yang batil).
Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah
ia berpuasa pada bulan
itu, dan barangsiapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya
yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur" (QS.al-Baqarah: 185).
Dalam ayat ini, demikian menurut Imam Malik, Allah mengatakan
bahwa Allah bermaksud untuk memberikan keringanan. Orang yang
sudah tua renta yang tidak kuat untuk berpuasa, tentu diberikan keringanan oleh Allah berupa boleh untuk tidak berpuasa
dan dia tidak berkewajiban membayar fidyah, karena ayat fidyah tersebut
sudah dinasakh oleh ayat di atas.
Namun, sebagaimana telah dikatakan di atas, bahwa pendapat Jumhur dalam
hal ini lebih utama, bahwa
orang tersebut harus membayar fidyah.
Apabila tidak mempunyai makanan atau harta untuk membayar fidyah, baru tidak mengapa ia tidak membayarnya.
Orang yang sakit yang kecil kemungkinan
untuk sembuhnya kembali, dihukumi seperti orang yang sudah tua renta yang tidak mampu
untuk berpuasa.
4) Wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui
Apabila wanita yang sedang hamil atau yang sedang menyusui
khawatir apabila ia berpuasa air susunya kering atau janinnya terganggu, maka diperbolehkan bagi keduanya untuk
berbuka. Hal ini didasarkan kepada hadits berikut ini:
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya Allah memberikan
keringanan kepada orang yang sedang bepergian (musafir) setengah
shalat (shalat qashar),
dan bagi musafir, wanita
yang sedang
hamil dan menyusui, juga diberikan keringanan untuk tidak
berpuasa" (HR. Ahmad, dan haditsnya
Hasan).
Namun, para ulama berbeda pendapat, apabila wanita hamil atau menyusui
tersebut tidak berpuasa, apa gantinya; apakah qadha atau fidyah? Para ulama
dalam hal ini terbagi kepada lima pendapat:
Pendapat pertama, yaitu
pendapatnya
Imam
Malik, Imam Syafi'i
dan
Imam
Ahmad, wanita tersebut wajib mengqadha dan memberi makan setiap hari satu orang miskin (fidyah).
Pendapat kedua, yaitu pendapat Imam
Auzai, ats-Tsauri, Abu Hanifah, Abu Tsur dan Abu 'Ubaid,
bahwa wanita tersebut wajib qadha saja.
Pendapat ketiga, yaitu pendapatnya Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan lainnya
bahwa wanita tersebut wajib membayar fidyah (memberi makanan kepada minimal satu orang miskin tiap hari). Pendapat ini dipandang pendapat yang lebih rajih oleh Syaikh Albani. Hal ini
berdasarkan riwayat berikut ini:
Artinya: "Ibnu Abbas
berkata: "Pada awalnya
diberi keringanan bagi kakek-kakek tua, nenek-nenek
tua untuk tidak berpuasa apabila
keduanya merasa berat (tidak mampu) untuk berpuasa.
Keduanya boleh tidak berpuasa, namun harus memberi makan
setiap hari seorang miskin. Dan
keduanya juga tidak wajib untuk mengqadhanya.
Kemudian ayat tersebut dihapus oleh
ayat berikutnya: "Apabila menyaksikan bulan Ramadhan,maka berpuasalah" (QS. Al-Baqarah: 185).
Setelah turunnya ayat tersebut, kakek-kakek tua dan nenek-nenek tua yang tidak kuat lagi untuk berpuasa, wanita
hamil, wanita menyusui apabila
keduanya khawatir dengan janin dan bayinya, untuk memberikan
makan setiap hari seorang miskin" (HR. Baihaki).
Pendapat keempat, pendapatnya Imam Malik dan Syafi'iyyah,
bahwa wanita hamil harus qadha,
sementara wanita menyusui harus qadha dan membayar
fidyah.
Pendapat kelima, adalah pendapatnya Ibn Hazm
yang mengatakan bahwa wanita hamil dan menyusui boleh
tidak berpuasa dan tidak ada kewajiban qadha juga tidak ada kewajiban
fidyah. Karena, lanjut Ibn Hazm, tidak ada nashnya yang
mengatakan hal itu. Qadha hanyalah
diperuntukkan bagi orang sakit, musafir,
wanita yang haid dan nifas juga orang yang sengaja muntah. Demikian juga fidyah, hanyalah untuk orang
yang tidak kuat lagi berpuasa karena sudah lanjut usia. Untuk itu, wanita hamil dan menyusui
boleh tidak berpuasa dan tidak ada kewajiban membayar fidyah, juga tidak ada kewajiban
qadha (lihat al-Muhalla: 6/265).
Dari kelima pendapat di atas, penulis
lebih condong untuk mengambil pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Umar, bahwa wanita hamil atau menyusui boleh tidak
berpuasa dan sebagai gantinya, ia wajib membayar fidyah, memberi makan kepada fakir miskin minimal satu orang perharinya, sesuai dengan jumlah
puasa yang ditinggalkannya.
B. Orang
yang wajib berbuka dan wajib mengqadha
Yang termasuk kategori
ini adalah:
1. Wanita yang sedang haid dan nifas
Para ulama sepakat bahwa
wanita yang sedang haid dan nifas (darah yang keluar karena melahirkan), tidak sah bahkan haram
puasanya, dan wajib membatalkannya serta wajib qadha baginya (lihat dalam al-Mughni:
3/142,
al-Majmu':
6/259).
Hal
ini
didasarkan
kepada
hadits
berikut ini:
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Bukankah apabila wanita haid, ia tidak shalat dan tidak
puasa? Maka itulah salah satu cirri
dan bukti kurangnya agama
wanita" (HR. Bukhari).
Artinya: "Siti Aisyah berkata: "Kami (isteri-isteri Rasulullah saw) dalam keadaan haid pada masa
Rasulullah saw, maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa,
namun tidak diperintahkan
untuk
mengqadha shalat" (HR. Muslim).
Hal-hal
yang terkait dengan wanita haid dan
nifas
1. Apabila wanita yang sedang haid tiba-tiba
berhenti darah haidnya
dan suci pada siang hari, maka
wanita itu harus tetap tidak berpuasa. Apabila suaminya datang siang hari dari bepergian jauh, keduanya boleh melakukan hubungan badan dan tanpa membayar
kifarat
2. Apabila wanita
tersebut telah suci sebelum terbit
fajar, lalu ia berniat
untuk puasa, maka sah puasanya, sekalipun ia mengakhirkan mandinya setelah terbit fajar. Demikian menurut Jumhur ulama.
3. Darah nifas adalah darah yang keluar saat melahirkan. Wanita yang masih dalam tahap 'pecah empedu'nya belum dipandang telah nifas, dan karenanya ia tetap wajib untuk
shalat.
4. Wanita yang sedang istihadah (mengeluarkan darah di luar waktu
biasanya
haid,
darah
penyakit), tetap wajib untuk berpuasa dan shalat, karena darah tersebut bukan
darah haid, akan tetapi darah penyakit. Demikian
Ijma' para ulama.
Bolehkah
meminum obat agar tidak haid selama bulan Ramadhan?
Apabila obat tersebut
tidak membahayakan diri
dan tubuh si wanita, maka silahkan
saja meminumnya. Dan ketika ia
tidak mengalami haid lantaran obat tersebut, ia wajib untuk terus melakukan puasa Ramadhan.
2. Orang yang apabila berpuasa, akan
membahayakan diri dan nyawanya.
Untuk orang yang dalam kondisi seperti ini, diwajibkan untuk berbuka dan wajib
mengqadhanya pada hari lain (lihat al-Muhalla: 6/228, al-Majmu':
6/262).
C. Orang yang tidak boleh berbuka
Orang yang tidak boleh berbuka puasa Ramadhan adalah setiap orang muslim yang balig, berakal, sehat, ada ditempat (tidak sedang bepergian), dan wanita yang suci dari darah haid juga suci dari
nifas.
Qadha
puasa Ramadhan
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan qadha puasa Ramadhan ini:
1. Orang yang berbuka puasa tanpa alasan syar'i
(tanpa udzur)
Orang yang tidak berpuasa atau berbuka puasa dengan sengaja, menurut sebagian besar para ulama
wajib malakukan qadha,
baik berbukanya itu tanpa alasan
syar'i maupun karena
ada alasan (udzur)
yang diperbolehkan oleh syar'i. Namun, para ulama berbeda
pendapat mengenai
qadha bagi orang yang berbuka puasa dengan sengaja
tanpa ada alasan yang diperbolehkan oleh syar'i.
Sebagian ulama seperti Ibnu Mubarak, ats-Tsauri, Ishak, Imam Malik dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa orang yang berbuka puasa dengan sengaja tanpa alasan yang syar'i, wajib mengqadha puasa yang ditinggalkannya berikut
membayar kifarah sebesar
kifarah orang yang melakukan hubungan
badan di siang hari.
Hal ini, dikarenakan orang yang berbuka
dengan sengaja pada siang hari bulan Ramadhan
disamakan dengan orang yang melakukan hubungan badan di siang hari.
Menurut kelompok ini, illat,
sebab, dilarangnya melakukan hubungan
badan di siang hari adalah karena tidak menghormati bulan Ramadhan (al-intihak bi syahri ramadhan), demikian juga dengan orang yang berbuka dengan sengaja pada siang
hari
tanpa
alasan
syar'i. Keduanya sama-sama
tidak menghormati bulan
Ramadhan. Apabila orang
yang
melakukan hubungan badan pada
siang
hari
dihukum dengan keharusan membayar denda diantaranya dengan berpuasa dua bulan
berturut-turut, maka demikian pula dengan orang yang dengan sengaja
berbuka pada siang hari di bulan Ramadhan.
Sedangkan menurut Syafi'iyyah dan Imam
Ahmad bin Hanbal, orang tersebut hanya wajib untuk qadha saja, dan tidak wajib membayar
kifarah.
Sementara menurut Ibnu
Hazm, orang yang dengan sengaja
berbuka pada bulan Ramadhan tanpa
alasan yang jelas, tidak diwajibkan untuk mengqadha.
Hal ini karena menutut Ibn Hazm, puasa Ramadhan termasuk ibadah yang waktunya ditentukan. Dan pada dasarnya, setiap
ibadah yang ditentukan waktunya, apabila ditinggalkan tanpa alasan syar'i, ia tidak wajib diqadha kecuali ada
keterangan lain yang mewajibkan
untuk mengqadhanya (nash jadid). Mengganti puasa Ramadhan dengan puasa lainnya yang dipandang
wajib, tentu tidak diijinkan oleh Allah, karena berarti membuat aturan baru yang tidak
ada ketentuannya dari Allah swt (lihat dalam
al-Muhalla: 6/180, masalah
nomor 735).
Dari beberapa pendapat di atas,
penulis lebih cenderung untuk mengatakan bahwa orang yang dengan sengaja
berbuka pada puasa Ramadhan, tidak ada qadha baginya. Hal ini dikarenakan,
sebagaimana diungkapkan Ibn Hazm, bahwa tidak
ada nash yang memerintahkan untuk mengqadha bagi orang tersebut. Bahkan, apabila kita qiyaskan dengan orang yang melakukan hubungan badan di siang hari sekalipun, untuk jenis ini, Rasulullah
saw juga tidak memerintahkan mereka untuk mengqadha
puasanya, hanya langsung mewajibkan
untuk membayar kafarah.
Untuk itu, penulis lebih condong untuk mengatakan bahwa orang
yang berbuka dengan sengaja pada bulan Ramadhan
dapat
memilih
dua
hal: Pertama,
membayar kifarah yang
besarnya sama dengan
kifarah orang yang melakukan
hubungan badan di siang hari, karena illatnya
sama yakni telah mengotori
kehormatan bulan Ramadhan (al-intihak
syahr ramadhan), atau kedua, ia
bertaubat, untuk tidak mengulangi
perbuatan dosanya itu. Opsi yang kedua ini sesuai dengan ucapan Ibnu
Mas'ud berikut ini:
Artinya: Ibnu Mas'ud berkata: "Barangsiapa yang berbuka dengan
sengaja satu hari dari puasa Ramadhan tanpa alasan syar'i yang diperbolehkan, juga tidak karena adanya rukhsah, maka tidaklah cukup tebusannya sekalipun
dengan puasa satu tahun penuh" (HR. Ibn Abi Syaibah dan sanadnya Shahih).
Dalam hadits lain, sekalipun
dhaif namun dikuatkan oleh
keterangan-keterangan lain, dikatakan:
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang berbuka satu hari saja dengan sengaja
dan tanpa alasan syari pada siang hari bulan Ramadhan,
maka ia tidak dapat ditebus sekalipun
dengan berpuasa satu tahun lamanya"
(HR. Turmudzi, Abu Dawud dan
Baihaki).
Hadits ini dhaif lantaran di antara rawinya ada yang bernama
Hubaib bin Abi Tsabit yang
oleh para ulama dipandang lemah dan dipandang ayahnya tidak mendengar hadits tersebut dari Abu Hurairah
sebagaimana dikatakan oleh Ibn Hajar
al-Asqalani
dalam
Fathul
Bari
(4/161).
Namun
demikian, hadits ini dapat dipakai
juga karena dikuatkan
oleh keterangan banyak keterangan lain yang
maknanya sama, yang salah satunya ucapan Ibnu Mas'ud di atas.
Sementara bagi orang yang muntah dengan sengaja, tidak dapat disamakan dengan orang yang berbuka puasa dengan sengaja.
Bagi orang yang muntah dengan
disengaja, maka ia wajib mengqadha puasanya, hal ini lantaran dalam
masalah muntah disengaja
terdapat nash shahih yang memerintahkan untuk mengqadhanya. Nash dimaksud
adalah:
Artinya:
"Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang terpaksa harus muntah (tidak disengaja), maka ia
tidak perlu mengqadha (tidak
membatalkan puasa). Namun, barangsiapa yang muntah dengan
disengaja,
maka ia harus mengqadha"
(HR.
Abu Dawud, Turmudzi dan disahihkan oleh Syaikh Albani).
2. Mengqadha puasa Ramadhan tidak wajib segera
Mengqadha puasa Ramadhan yang ditinggalkan karena ada
udzur syar'i, seperti sakit, haid,
bepergian atau yang lainnya, tidak wajib segera dilakukan. Mengqadha puasa Ramadhan yang tertinggal, hukumnya wajib
muwassa' artinya kewajiban untuk melaksanakannya
luas menurut kapan waktu dan keadaan
leluasa dan maunya. Hal ini
didasarkan kepada hadits berikut ini:
Artinya: Siti Aisyah berkata: "Saya pernah bolong berpuasa
pada bulan Ramadhan, dan saya tidak dapat mengqadhanya melainkan
hanya pada bulan Sya'ban" (HR.
Bukhari Muslim).
Hadits di atas
menunjukkan bahwa
mengqadha puasa
Ramadhan yang
tertinggal boleh dilaksanakan kapan saja, karena buktinya Siti Aisyah pun baru dapat mengqadhanya pada bulan Sya'ban. Kalau saja mengqadha
puasa Ramadhan yang tertinggal ini harus sesegera
mungkin, tentu Siti Aisyah akan segera melaksanakannya. Berdasarkan hadits ini juga Ibn Hajar al-Asqalany (Fathul Bari: 4/191) berpendapat: "Hadits ini menjadi dalil bolehnya mengakhirkan mengqadha
puasa pada bulan Ramadhan yang
tertinggal baik karena udzur (maksudnya tidak dapat segera mengqadhanya karena sakit atau udzur lainnya), maupun tanpa ada
udzur (tidak ada alasan untuk mengakhirkan mengqadha puasa".
Hanya saja, menyegerakan untuk mengqadha
tentu lebih baik sebagaimana
disinggung oleh keumuman ayat berikut ini
Artinya: "Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah
orang-orang yang segera memperolehnya"
(QS. Al-Mukminun: 61).
Bagaimana
apabila
belum
mengqadha
puasa
Ramadhan
sehingga
bulan
Ramadhan
baru
datang?
Apabila seseorang
belum mengqadha puasa Ramadhannya sampai datang lagi bulan Ramadhan yang lain, maka yang harus dia lakukan adalah puasa Ramadhan seperti biasa
dan ketika bulan Syawal nanti tiba, ia harus segera mengqadha
hari-hari yang ditinggalkannya itu, tanpa ada tambahan juga tanpa ada kewajiban untuk memberi makan fakir miskin atau kifarat lainnya.
Hal ini dikarenakan tidak ada nash yang memerintahkan bahwa orang yang belum
mengqadha pusanya sampai datang bulan Ramadhan yang baru di samping
harus mengqadha puasanya juga harus membayar diyat
berupa memberi makan orang-orang miskin. Karena tidak ada keterangan itulah, maka orang yang belum mengqadha tersebut cukup mengqadha puasa yang sempat ditinggalkannya pada bulan
Ramadhan tahun
sebelumnya. Pendapat
ini adalah pendapat
Madzhab Abu Hanifah
dan Ibn Hazm dan pendapat ini,
hemat penulis pendapat yang lebih rajih
(lebih kuat).
Namun, menurut
Imam Malik, juga Imam Syafi'i,
orang yang belum mengqadha
puasa
Ramadhannya dengan sengaja sampai datang bulan
Ramadhan yang baru, maka di samping
harus mengqadha puasanya, juga setiap
hari ia mengqadha diwajibkan juga
untuk memberi makan orang-
orang miskin (jumlah orang miskinnya yang jelas lebih
dari satu, tidak
ditentukan) masing-masing satu mud (lihat dalam al-Muhalla: 6/260, dan Majmu'
al-Fatawa: 6/412).
Tambahan kewajiban
memberi makanan satu mud kepada tiap-tiap orang miskin
ini, boleh jadi dimaksudkan
sebagai hukuman atas kelalaian dan
keteledorannya. Namuan, sayang, tambahan dari Imam Syafi'i dan Imam Malik
ini, sepengetahuan penulis, tidak ada dalil dan keterangannya. Untuk itu, penulis lebih condong untuk mengambil madzhab Abu Hanifah dan Ibn Hazm di atas.
3. Mengqadha puasa Ramadhan yang tertinggal
tidak mesti berurutan
Orang yang bolong puasa Ramadhannya dengan ada alasan
syar'i, misalnya tiga atau empat hari, maka ketika
mengqadha tidak diharuskan berurutan
dan beriringan. Maka,
ia boleh mengqadha
minggu ini satu hari, kemudian minggu berikutnya satu hari, kemudian bulan berikutnya dua kali dan seterusnya. Hal ini lantaran dalam ayat berikut ini disebutkan:
Artinya: "Maka gantilah (qadhalah) pada hari-hari yang
lain".
Sehubungan dengan ayat ini
Ibnu Abbas mengatakan:
Artinya: "Boleh ia mengqadhanya dengan jalan berbeda-beda (maksudnya tidak berurutan)" (HR. Darul Quthni, Baihaki, dan sanad
hadits tersebut Shahih)
Demikian
juga Abu Hurairah dan Anas berkata dalam makna
yang sama:
Artinya: "Abu Hurairah
berkata: "Jika ia mau (qadhalah)
dengan diselang-seling (tidak berurutan)" (HR. Darul Quthni)
Artinya: "Anas berkata: "Jika kamu mau, qadhalah puasa Ramadhan itu dengan berurutan, dan jika kamu mau juga qadha dengan tidak berurutan" (HR. Ibn Abi Syaibah dan Baihaki)
Artinya: "Anas berkata: "Jika kamu mau, qadhalah puasa Ramadhan itu dengan berurutan, dan jika kamu mau juga qadha dengan tidak berurutan" (HR. Ibn Abi Syaibah dan Baihaki)
Demikian juga para imam
madzhab yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam
Malik, Imam Syafi'i dan Imam
Ahmad bin Hanbal) membolehkan
untuk memilih antara berurutan maupun tidak (lihat
dalam al-Muhalla: 6/261) dan Majmu'
al-Fatawa: 6/312).
Sedangkan
riwayat Abu Hurairah yang mengatakan:
Artinya: "Barangsiapa yang mempunyai hutang puasa Ramadhan, maka qadhalah dengan berurutan dan jangan diputus-putus" (HR. Darul Quthni dan Baihaki).
Artinya: "Barangsiapa yang mempunyai hutang puasa Ramadhan, maka qadhalah dengan berurutan dan jangan diputus-putus" (HR. Darul Quthni dan Baihaki).
Hadits di atas adalah hadits Dhaif, dan karenanya tidak dapat dijadikan pegangan dalam berhujjah.
4. Orang yang meninggal dunia sementara dia mempunyai kewajiban puasa
Bagaimana apabila ada
orang meninggal dunia pada bulan Ramadhan ketika puasa Ramadhannya
belum lengkap satu bulan, apakah ahli
warisnya wajib mengqadhakan atau
bagaimana?
Para ulama dalam hal ini terbagi kepada tiga kelompok.
Kelompok pertama berpendapat
bahwa ahli waritsnya tidak wajib mengqadhakannya baik untuk
puasa Ramadhannya maupun untuk puasa nadzarnya. Pendapat ini adalah pendapatnya Madzhab
Abu Hanifah, Malik, dan sebagian madzhab Syafi'i (lihat dalam Fathul Qadir: 2/360, Majmu' al-Fatawa:
6/412). Oleh karena itu, menurut
pendapat ini, orang yang meninggal
dunia pada bulan Ramadhan atau orang yang meninggal
dunia dan memiliki kewajiban puasa nadzar yang belum
dilaksanakannya, tidak wajib diqadha
dan tidak wajib dibayar oleh ahli waritsnya. Hal ini di antaranya didasarkan kepada dalil-dalil berikut
ini:
Artinya: "Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh
selain apa yang telah diusahakannya
(QS.An-Najm:39)
Artinya: "Rasulullah Saw bersabda:
"Apabila
anak Adam
meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah,
ilmu yang bermanfaat
dan anak shaleh yang selalu mendoakannya"
(HR. Muslim)
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang sakit pada bulan Ramadhan,
kemudian ia terus menerus sakit sehingga
meninggal, maka tidak harus membayar fidyah (ahli waritsnya). Namun, jika ia sehat, namun belum mengqadha juga sehingga ia meninggal, maka harus membayar fidyah (ahli
waritsnya)" (HR. Abdurrazaq dengan sanad dhaif)
Dari Amurah bahwasannya ibunya meninggal dunia padahal ia mempunyai puasa Ramadhan. Lalu ia bertanya kepada Siti Aisyah: "Apakah saya harus mengqadhakan untuknya?" Siti Aisyah
Dari Amurah bahwasannya ibunya meninggal dunia padahal ia mempunyai puasa Ramadhan. Lalu ia bertanya kepada Siti Aisyah: "Apakah saya harus mengqadhakan untuknya?" Siti Aisyah
menjawab: "Tidak, akan tetapi cukup dengan bersedekah
saja setiap hari yang ditinggalkannya dengan
setengah sha' kepada setiap orang miskin" (HR. Thahawi, hanya saja sanad hadits tersebut
lemah (dhaif).
Sayang, hadits-hadits yang disodorkan kelompok ini dhaif dan karenanya tidak dapat dijadikan pegangan.
Kelompok kedua adalah pendapatnya Abu Tsaur, Imam
Nawawi dan Ibn Hazm (lihat dalam
al- Muhalla: 7/2) yang berpendapat bahwa puasa nadzar dan puasa qadha yang belum
dibayarnya harus dipuasakan oleh ahli
waritsnya. Hal ini didasarkan kepada hadits-hadits berikut ini:
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Barang siapa yang meninggal
sementara dia masih punya hutang puasa, maka
wali (atau ahli waritsnya) hendaklah berpuasa untuknya" (HR. Bukhari Muslim).
Artinya: "Dari Ibnu Abbas, bahwasannya seorang wanita dari kabilah Juhainah datang kepada Rasulullah Saw seraya berkata:
"Sesungguhnya ibu saya sebelum meninggal dulu pernah bernadzar
untuk melakukan
ibadah
haji.
Apakah
saya
harus melaksanakan hajinya
itu?" Rasulullah
Saw bersabda: "Ya,
hajikanlah dia. Bukankah
kalau ibu kamu mempunyai hutang, kamu harus membayarnya?
Tunaikanlah hutang kamu kepada Allah, karena hutang kepada Allah
lebih berhak untuk dibayar" (HR. Bukhari).
Artinya: "Buraidah berkata:
"Ketika saya sedang duduk di samping Rasulullah Saw, tiba-tiba datang seorang perempuan sambil berkata:
"Ya Rasulullah, sesungguhnya saya bersedekah
seorang budak wanita untuk ibu saya yang sudah meninggal". Rasulullah bersabda: "Kamu dan ibumu
akan mendapatkan pahala". Wanita itu berkata lagi: "Ya Rasulullah, ibu saya yang sudah meninggal itu juga mempunyai hutang puasa sebulan,
apakah saya harus
berpuasa untuknya?" Rasulullah
bersabda: "Berpuasalah untuknya". Wanita itu berkata lagi: "Dia juga belum
pernah melaksanakan ibadah haji, apakah saya boleh berhaji untuknya?" Rasulullah bersabda:
"Berhajilah untuknya" (HR. Muslim).
Ketiga, kelompok Imam Ahmad, Ishak, Imam Laits
dan lainnya yang berpendapat bahwa yang
harus dipuasai hanyalah
puasa nadzarnya saja, sementara puasa
qadhanya tidak perlu
(Fathul Bari:
4/228). Hal ini di antaranya berdasarkan argumen berikut ini:
1. Dalam hadits Aisyah yang mengatakan: "
Barang siapa yang meninggal
sementara dia masih punya hutang puasa,
maka
wali
(atau
ahli
waritsnya) hendaklah berpuasa untuknya"
(HR.
Bukhari Muslim), itu sifatnya
umum. Sedangkan dalam
hadits Ibnu Abbas
yang mengatakan: "
Sesungguhnya ibu saya sebelum
meninggal dulu pernah
bernadzar untuk melakukan ibadah haji. Apakah
saya harus melaksanakan hajinya itu?"
Rasulullah Saw bersabda: "Ya, hajikanlah dia. Bukankah kalau ibu kamu
mempunyai hutang, kamu harus membayarnya? Tunaikanlah hutang kamu kepada Allah,
karena hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar" (HR. Bukhari),
adalah
bersifat khusus. Untuk itu, hadits Aisyah
harus dibawa pemahamannya pada hadits Ibn Abbas ini, bahwa
yang harus dipuasai itu hanyalah puasa nadzar saja dan tidak yang lainnya.
2. Dalam hadits lain disebutkan:
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa
yang sakit pada bulan Ramadhan, kemudian meninggal sebelum ia berpuasa, maka gantilah dengan memberi makanan, dan tidak mesti
mengqadhanya. Namun, jika ia mempunyai hutang puasa nadzar, maka walinya harus mengqadhakannya"
(HR. Abu Dawud dan sanadnya Shahih).
Dari
beberapa pendapat di atas, perlu penulis ketengahkan terlebih dahulu bahwa para ulama telah sepakat orang yang meninggal dunia sementara dia
mempunyai beberapa
hutang shalat wajib yang
belum ditunaikan, maka walinya atau siapapun tidak usah menggantikan sahalatnya itu.
Demikian juga apabila
orang yang meninggal tersebut
ketika masa hidupnya sangat berat untuk
melakukan puasa, karena sakit misalnya
atau udzur lainnya, kemudian
apabila ia meninggal padahal masih mempunyai hutang puasa, maka para ulama juga sepakat, wali dan yang lainnya tidak perlu mengganti
puasanya itu. Namun, apabila
orang yang meninggal tersebut
sehat dan kuat, namun ketika
ia meninggal dunia masih mempunyai tunggangan puasa yang belum dibayarnya, para ulama berbeda
pendapat sebagaimana dipaparkan di
atas.
Dari beberapa pendapat tersebut, penulis berkesimpulan sebagai berikut:
1). Orang yang mempunyai udzur misalnya
sakit, atau sangat tua,
sehingga ia tidak mampu membayar hutang puasanya itu sehingga meninggal dunia, maka untuk orang seperti ini tidak ada kewajiban untuk mengqadhanya juga tidak ada kewajiban untuk menggantinya
dengan memberi makan fakir miskin, tidak untuk ahli waritsnya tidak
juga untuk yang lainnya.
2). Apabila orang yang meninggal tersebut
sehat, kuat dan mampu untuk berpuasa, tidak ada udzur, lalu meninggal padahal
ia masih mempunyai hutang puasa
yang belum dibayarnya, maka ahli warits atau walinya wajib berpuasa
untuknya.
3). Apabila ia meninggal
dunia, sementara dia
mempunyai
hutang puasa nadzar yang belum dipenuhinya, baik orang tersebut mempunyai
udzur ataupun tidak, maka ahli
waritsnya tetap harus berpuasa untuk menggantikannya.
Kesimpulan ini diperoleh (bahwa baik puasa nadzar maupun qadha wajib dipuasakan oleh ahli warits atau walinya)
karena hadits Aisyah yang bersifat umum tidak
dapat dikhususkan oleh hadits Ibnu Abbas. Hal ini lantaran tidak ada pertentangan di antara kedua hadits tersebut, sementara dalam kaidah
Ushul Fiqh dikatakan bahwa hadits yang umum ditarik kepada
hadits yang khusus itu manakala terjadi
pertentangan di antara keduanya
('indat ta'arrudh). Namun,
apabila tidak terjadi pertentangan, maka tidak boleh ditarik dan masing-masing
berdiri sendiri, dipergunakan menurut
kandungan hukumnya masing-masing.
4). Orang yang meninggal
di tengah bulan Ramadhan, misalnya
meninggal pada tanggal 10 Ramadhan atau 15 Ramadhan,
maka hari-hari Ramadhan yang tidak
dilaluinya (dua puluh
hari atau lima belas hari lainnya) tidak wajib diganti
dengan puasa atau dengan memberi makan. Hal ini
lantaran ketidakmampuannya untuk berpuasa bukan karena sebab
dirinya, tapi karena sebab dari Allah, berupa kematian yang tidak dapat dicegah oleh siapapun juga. Wallahu
'alam.
kalau saya org nya cupu dan loyo.. saya tdk becus kerja dan nyari jodoh, saya sejak kecil sering dihina, dimanfaatkan, dibohongi org.. apakah org spt saya wajib puasa?
BalasHapus