Minggu, 04 September 2011

Pengertian dan rukun jual beli

A. PENGERTIAN JUAL BELI
“Jual beli”, menurut hukum syariat, memiliki pengertian 'tukar-menukar harta dengan harta, dengan tujuan memindahkan kepemilikan, dengan menggunakan ucapan ataupun perbuatan yang menunjukkan terjadinya transaksi jual beli'. (Taisir 'Allam, jilid 2, hlm. 125) 

Berdasarkan pengertian di atas, transaksi jual beli sangat berhubungan dengan harta (hal yang memiliki nilai ekonomis). Dalam Islam, harta itu mencakup tiga kategori:

Pertama: Benda
, baik berupa aktiva tetap, misalnya: tanah dan rumah, ataupun aktiva bergerak, misalnya: buku, sepeda motor, dan mobil.

Kedua: Hak
, misalnya: jual beli hak cetak buku dan jual beli merek dagang.

Ketiga: Manfaat,
 yaitu jual beli kewenangan untuk memanfaatkan barang milik orang lain.

Tampaknya, jual beli jenis ketiga ini termasuk jenis jual beli yang tidak terkenal di masyarakat kita.

Contoh yang sering disampaikan oleh para pakar fikih untuk jual beli jenis ketiga adalah ketika posisi rumah kita berada di belakang rumah tetangga, sehingga kita tidak memiliki akses ke jalan besar kecuali harus melewati tanah tetangga kita tersebut. Misalnya kita bisa membeli “kewenangan untuk memanfaatkan tanah tetangga tersebut untuk kita lewati”, setelah kita mengadakan transaksi dengan tetangga kita tersebut maka kita selamanya memiliki kewenangan untuk menjadikan tanah tetangga kita tersebut sebagai tempat lewat bagi kita menuju jalan besar.

Kendati demikian, dalam transaksi ini, kita hanya memiliki pemanfaatan tanah tetangga kita untuk lewat tanpa memiliki tanah tersebut, karena fisik tanah tersebut tetaplah milik tetangga kita. Karenanya, kita tidak memiliki kewenangan untuk mengubah bentuk fisik tanah milik tetangga kita tersebut, yang pemanfaatannya telah kita miliki. Kita tidak diperkenankan untuk mengubah fisik tanah tersebut menjadi ber-konblok--misalnya--karena kita hanya memiliki pemanfaatannya, bukan fisik tanahnya.

“Membeli jalan” yang ada dalam contoh di atas jelas berbeda dengan membeli jalan yang lazim di masyarakat kita saat ini. “Membeli jalan” yang lazim di masyarakat kita saat ini adalah termasuk jual beli jenis pertama, yaitu jual beli benda, dalam hal ini adalah fisik tanah.

Berdasarkan pengertian jual beli di atas maka transaksi jual beli tidak hanya terbatas pada jual beli barang dengan uang, sebagaimana anggapan sebagian orang. Bahkan, barter, yaitu penukaran barang dengan barang, juga termasuk dalam kategori jual beli. Sehingga, barter kulit hewan kurban dengan daging adalah termasuk menjual kulit kurban.

Berdasarkan pengertian jual beli di atas, kepemilikan atas suatu barang sudah berpindah dengan semata-mata terjadinya transaksi jual beli, meski pembayaran belum selesai. Maksud dari transaksi jual beli adalah memindah kepemilikan atas barang yang diperjualbelikan. Jadi, meski transaksi jual beli yang terjadi adalah transaksi jual beli tidak tunai, barang yang dijual telah menjadi milik pembeli secara sah, meski pembayaran yang terjadi baru Rp 0,0. Kondisi ini berbeda dengan sewa-menyewa; hak untuk memanfaatkan barang yang sudah kita beli bersifat selamanya, tidak sementara.

Transaksi jual beli bisa dilakukan dengan kata-kata atau lisan, bisa juga dengan perbuatan.

Kata-kata yang digunakan dalam transaksi jual beli itu, boleh jadi kata-kata yang secara bahasa menunjukkan makna jual beli; semisal ucapan penjual, “Saya jual barang ini dengan harga sekian rupiah,” lalu pembeli mengatakan, “Ya, saya beli barang tersebut dengan harga yang tadi Anda sampaikan.”

Bisa pula, transaksi jual beli dilakukan dengan kalimat yang secara bahasa tidak bemakna jual beli, namun tradisi masyarakat setempat menilai bahwa kalimat tersebut sebagai kalimat jual beli. Misalnya: Pembeli mengatakan, “Bang, minta baksonya satu mangkuk,” lalu penjual mengatakan, “Ya.”

Kata “minta” dalam kalimat di atas, secara bahasa, tidaklah bermakna “membeli”, namun tradisi masyarakat menilai bahwa kalimat tersebut sebagai kalimat jual beli.

Bisa juga, transaksi jual beli menggunakan perbuatan tanpa ucapan, satu patah kata pun. Misalnya: Seseorang yang membeli suatu barang di swalayan. Boleh jadi, sejak masuk ke swalayan sampai keluar, tidak ada satu patah kata pun yang dia ucapkan, namun perbuatannya menunjukkan bahwa dia mengadakan transaksi jual beli dengan pramuniaga yang ada.
B. RUKUN JUAL BELI
Terkadang dalam jual beli kita tidak memperhatikan dengan baik rukun dan syarat melakukan jual beli . Bahkan ketiga rukun jual beli inipun seringkali kita sepelekan antara lain : akad ( ijab qabul ), orang-orang yang berakad ( penjual dan pembeli ), dan ma’kud alaih ( objek akad ).

Maka pembahasan kali ini membahas ketiga rukun tersebut beserta penjelasannya , sehingga kita dapat terhindar dari aktivitas jual beli yang tidak diridhoi oleh Allah SWT.

1. Akad ( ijab Qabul )

Hal pertama dalam rukun jual beli adalah akad , dimana Akad ialah ikatan kata antara penjual dan pembeli. Jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab dan qabul dilakukan sebab ijab qabul menunjukkan kerelaan ( keridhoan ).

Maka Rasulullah SAW bersabda:
“…sesungguhnya jual beli hanya sah dengan saling merelakan.”
(HR. Ibnu Hibban dan Ibnu Majah)

Namun menurut jumhur jual beli yang menjadi kebiasaan seperti jual beli sesuatu yang menjadi kebutuhan sehari-hari tidak disyaratkan ijab qabul.
(Hendi Suhendi, 22: 2007)

2. Orang-orang yang berakad

Hal kedua adalah memperhatikan orang - orang yang berakad , yang dimaksud dengan orang-orang yang berakad adalah penjual dan pembeli. Tentunya jual beli tidak akan terjadi tanpa adanya penjual dan pembeli.

Demi kemaslahatan ummat, dalam syariat islam tidak semua orang dapat menjadi penjual dan pembeli karena ada syarat yang berlaku, yaitu :

a) Berakal; agar tidak mudah tertipu orang.
b) Dengan kehendak sendiri ( bukan paksaan ).
c) Tidak mubazir (pemboros), sebab harta orang yang mubazir itu di tangan walinya.
d) Balig.

3. Ma’kud alaih (objek akad)

Dan yang tak kalah pentingnya adalah hal yang ketiga , yakni Ma'kud alaih . Yang dimaksud dengan ma’kud alaih adalah barang atau benda yang dijadikan objek jual beli. Seperti makanan, pakaian dan uang. Adapun syarat-syarat benda yang menjadi objek akad adalah.

- Suci
- Ada manfaatnya
- Jangan ditaklikkan, yaitu dikaitkan atau digantungkan kepada hal-hal lain seperti ungkapan jika ayahku pergi, ku jual motor ini kepadamu.
- Tidak dibatasi waktunya.
- Dapat diserahkan dengan cepat atau lambat.
- Milik sendiri.
- Diketahui (dapat dilihat), barang yang diperjual belikan harus dapat diketahui banyaknya, beratnya, takarannya, atau ukuran lainnya.

Demikian pembahasan mengenai rukun dan syarat jual beli , tentunya hal ini tidak dapat disepelekan maka kita harus memperhatikan hal sekecil apapun dalam kegiatan jual beli yang kita lakukan sehari - hari agar mendatangkan berkah bagi diri kita dan bagi orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar