Para ulama telah sepakat
bahwa yang membatalkan puasa itu ada tiga, makan, minum disengaja dan hubungan badan di siang
hari. Hal ini didasarkan kepada firman
Allah berikut ini:
Artinya:
"Maka sekarang campurilah mereka
dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah
puasa itu sampai (datang) malam"
(QS. Al-Baqarah: 187).
Sekalipun para
ulama telah sepakat dalam tiga
hal di atas, namun
mereka berselisih dalam perinciannya sebagaimana akan diulas di bawah ini (lihat Bidayatul
Mujtahid: 1/431).
Secara
garis besar, yang membatalkan puasa dapat dikelompokkan kepada dua bagian:
1. Membatalkan puasa dan wajib qadha
Yang termasuk ke dalam bagian ini adalah:
1) Makan dan minum yang disengaja.
Namun apabila ia lupa makan dan minum, maka tidak membatalkan
puasa dan tidak wajib
qadha. Hal ini sebagaimana disebutkan
dalam hadits berikut ini:
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang lupa, ketika
dia sedang berpuasa, lalu makan dan minum, maka teruskanlah puasanya,
karena itu berarti
Allah telah memberi makan dan
minum orang tersebut" (HR. Bukhari Muslim).
Dalam hadits lain
dikatakan:
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya Allah memaafkan dari ummatku karena salah, lupa dan dipaksa" (HR. Ibn
Majah, Thabrani dan Hakim).
2) Muntah disengaja.
Hal ini didasarkan kepad hadits berikut ini:
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang terpaksa harus muntah
(tidak disengaja), maka ia tidak perlu mengqadha (tidak membatalkan puasa).
Namun, barangsiapa yang muntah
dengan disengaja, maka ia harus mengqadha" (HR. Abu Dawud, Turmudzi dan disahihkan oleh
Syaikh
Albani).
3) Haid dan nifas.
Para ulama telah sepakat,
wanita yang haid dan nifas
sekalipun sebentar pada penghujung
siang, maka puasanya menjadi batal dan ia harus mengqadhanya.
4) Melakukan masturbasi dengan disengaja (istimna')
Menurut jumhur ulama orang yang melakukan
masturbasi pada siang hari di
bulan Ramadhan, maka puasanya batal dan ia wajib qadha pada
hari yang lain (al-Umm: 2/86), al-Mughni (3/48), Raudhatut
Thalibin: 2/104).
Sedangkan menurut Ibn Hazm dalam bukunya, al-Muhalla:6/203-205,
berpendapat bahwa orang yang mengeluarkan sperma tanpa melalui hubungan
badan, misalnya dengan melakukan
onani atau yang lainnya selama bukan jima', baik disengaja maupun tidak disengaja, tidak membatalkan puasa. Artinya, orang tersebut masih
boleh meneruskan puasanya sampai maghrib
tiba. Alasan yang dikemukakan Ibn
Hazm adalah:
Artinya: "Hal tersebut
dikarenakan untuk masalah tadi tidak ada keterangannya baik dari
nash, Ijma', qaul shahabi maupun
qiyas".
Dari kedua pendapat di
atas, penulis lebih condong untuk mengambil
pendapatnya Jumhur ulama, bahwa orang yang melakukan mengeluarkan
spermanya dengan sengaja pada siang hari bulan Ramadhan, puasanya
menjadi batal dan ia wajib mengqadha
pada hari lainnya. Hal ini dikarenakan dalam
sebuah hadits dikatakan bahwa
"orang
yang
berpuasa
itu
meninggalkan
makan, minum dan syahwatnya karenaKu" (HR. Bukhari Muslim).
Dalam hadits ini disebutkan
bahwa orang yang berpuasa seharusnya bukan hanya menahan
makan dan minum, akan tetapi juga syahwat.
Melakukan onani dan masturbasi jelas termasuk perbuatan yang didasarkan syahwat
buktinya sampai mengeluarkan air mani yang dalam sisi
ini, sama dengan orang yang melakukan
hubungan badan dalam hal
sama-sama setelahnya mengeluarkan air mani. Oleh karena berdasarkan
syahwat inilah, maka mengeluarkan sperma
dengan sengaja termasuk yang membatalkan puasa dan orang tersebut wajib mengqadha pada hari lainnya.
5) Niat berbuka dengan hatinya
Apabila orang yang berpuasa berniat dalam
hatinya bahwa ia telah membatalkan
puasanya dengan penuh kesadaran
bahwa ia sedang berpuasa, disengaja
dan niat yang bulat, maka
puasanya menjadi batal sekalipun ia belum
makan atau minum dan
orang yang melakukannya wajib mengqadha
pada hari lainnya. Hal ini dikarenakan dalam
sebuah hadits disebutkan:
Artinya: "Segala sesuatu itu tergantung apa yang
diniatkannya" (HR.Bukhari).
Oleh karena itu, orang yang berpuasa apabila sedang berada di atas bus, lalu terdengar
adzan maghrib dan ia tidak membawa makanan untuk berbuka, maka cukup diniatkan dalam hatinya bahwa saat itu ia telah berbuka.
Pendapat ini adalah pendapatnya Imam Syafi'i, Dhahiriyyah, Abu Tsaur dan Imam Ahmad (al-Muhalla:
6/175, al-Majmu': 6/314).
6) Murtad dari agama Islam
Para ulama sepakat bahwa orang yang keluar dari agama Islam, maka puasanya
menjadi batal dan apabila ia kembali lagi ke agama Islam, ia wajib mengqadha
puasanya itu (lihat dalam
al- Mughni: 3/25).
2. Membatalkan puasa dan wajib qadha serta membayar kifarat (tebusan, denda)
Yang termasuk ke dalam kelompok kedua ini hanyalah
jima (berhubungan badan suami isteri di siang hari).
Dalil bahwa orang yang melakukan
jima batal puasanya
dan wajib membayar kifarat adalah hadits
di bawah ini:
Artinya: "Abu Hurairah
berkata: "Ketika kami duduk di
samping Rasulullah saw, tiba-tiba
datang seorang laki-laki berkata:
"Ya Rasulullah, celaka" Rasulullah
bertanya: "Emang ada apa?".
Ia menjawab: "Saya melakukan hubungan badan dengan isteri saya
padahal saya sedang berpuasa". Rasulullah saw bersabda: "Apakah kamu mampu untuk membebaskan
seorang budak?" Laki-laki itu menjawab:
"Tidak". Rasulullah
saw bertanya kembali: "Apakah kamu mampu untuk berpuasa dua bulan berturut-turut?" Laki-laki
itu menjawab: "Tidak". Rasulullah saw bertanya
kembali: "Apakah kamu dapat memberi makan enam puluh orang miskin?" Laki-laki itu menjawab: "Tidak". Rasulullah saw lalu terdiam sejenak. Tidak lama kemudian,
dibawakan
kepada
Rasulullah
saw
sekeranjang
kurma. Rasulullah
saw bertanya kembali:
"Mana orang yang bertanya tadi?" Laki-laki
itu menjawab: "Saya
di sini". Rasulullah saw
bersabda kembali: "Bawa kurma ini dan sedekahkanlah". Laki-laki itu berkata kembali: "Kepada orang yang lebih miskin dari saya, Rasulullah? Demi Allah tidak ada keluarga yang paling miskin di antara dua ujung kota ini selain
keluarga saya". Rasulullah saw tertawa sehingga tampak gigi serinya, kemudian
bersabda: "Berikan kurma
tersebut ke keluargamu" (HR.
Bukhari Muslim).
Dari hadits ini, jumhur ulama berpendapat
bahwa orang yang melakukan hubungan
badan dengan jalan menempelkan
atau mencelupkan minimal ujung kemaluannya (taghyib
al-hasyafah) pada salah satu lobang, baik lobang depan (kemaluan wanita,
qubul) ataupun belakang
(dubur, pantat), membatalkan puasa dan pelakuknya wajib membayar kifarat
berikut mengqadha puasanya pada hari yang lain,
baik sampai mengeluarkan air mani, maupun tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar