A. Pengertian
puasa
Secara bahasa puasa berarti menahan dan mencegah
sesuatu
Sedangkan
secara syar'i berarti menahan diri dari hal-hal yang dapat
membatalkan puasa mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari dengan
niat untuk beribadah kepada Allah".
B. Syarat Wajib Puasa
- ( Islam ) : Dengan demikian orang kafir tidak wajib berpuasa dan tidak wajib mengqadha' (mengganti) begitulah menurut jumhur (mayoritas) ulama, bahkan kalaupun mereka melakukannya tetap dianggap tidak sah. Hanya saja ulama berbeda pendapat dalam menentukan apakah syarat islam ini syarat wajib atau syarat sahnya puasa? Dan yang melatarbelakangi mereka dalam hal ini adalah karena adanya perbedaan mereka dalam memahami ayat kewajiban puasa, mengenai apakah orang kafir termasuk di dalamnya atau tidak. (baca Surat Al Baqarah ayat 183). Menurut Ulama Hanafiyah: orang kafir tidak termasuk dalam ketentuan wajib puasa. Sementara jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa mereka tetap termasuk dalam setiap firman Allah. Dengan demikian mereka dibebani untuk melakukan semua syariatNya (dalam hal ini mereka wajib memeluk agama Islam kemudian melakukan puasa). Jadi menurut pendapat pertama (Hanafiyah) mereka hanya menaggung dosa atas kekafirannya sementara menurut pendapat kedua (Jumhur Ulama) mereka menanggung dosa kekafiran dan meninggalkan syariat. Maka jika ada seorang kafir masuk Islam pada bulan ramadhan dia wajib melaksanakan puasa sejak saat itu. Sebagaimana firman Allah "Katakanlah pada orang kafir bahwa jika mereka masuk islam akan diampuni dosanya yang telah lalu" (QS. Al Anfal:38).
- Aqil
- Baligh (berakal dan melewati masa pubertas) Tidak wajib puasa bagi anak kecil (belum baligh), orang gila (tidak berakal) dan orang mabuk, karena mereka tidak termasuk orang mukallaf (orang yang sudah masuk dalam konstitusi hukum), sebagaimana dalam hadist: Seseorang tidak termasuk mukallaf pada saat sebelum baligh, hilang ingatan dan dalan keadaan tidur.
- Mampu
- Menetap Puasa tidak diwajibkan atas orang sakit (tidak mampu) dan sedang bepergian (tidak menetap), tetapi mereka wajib mengqadha'-nya.
C. Syarat Sah Puasa
Syarat-syarat sah yang dikerjakan oleh orang yang berpuasa ramadhan ada empat (4) perkara :
1. Orang Islam. tidak sah puasanya orang kafir.
2. Orang yang berakal sehat. tidak sah puasanya orang yang hilang akalnya, karena gila, ayan atau mabuk.
3. Orang yang telah putus dari darah haidh, nifas, dan wiladah. sekalipun belum mandi wajib untuk mensucikan diri dari haidh,nifas, wiladahnya. tidak sah puasanya orang yang sedang haidh,nifas,wiladah. Tetapi wajib mengkodho puasa yang ditinggalkan.tidak wajib mengkodho shalat fardhu yang ditinggalkan.
4. Waktu yang diterima untuk mengerjakan puasa. tidak sah puasa pada hari raya fitrah,hari raya adha, dan 3 hari sesudah adha yang disebut hari tasyriq. Itulah hari-hari yang haram berpuasa, meskipun puasa wajib, karena nadzar, qodho wajib mudhayyaq dll.
Hukum melaksanakannya
Puasa Ramadhan hukumnya wajib dilaksanakan oleh setiap muslim
yang sudah baligh, berakal, sehat
dan tidak sedang bepergian (karena kalau sedang bepergian, ia boleh berbuka,
namun wajib qadha di hari yang lain kelak). Di antara
dalil wajibnya puasa bulan Ramadhan
ini adalah:
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa,
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu.
Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada
hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang- orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah,
(yaitu): memberi
makan seorang miskin. Barangsiapa
yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka
itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.. (Beberapa hari yang
ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang
di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur`an sebagai petunjuk
bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk
itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya)
di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak
hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain.
Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan
tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah
kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan
kepadamu, supaya kamu bersyukur" (QS. Al-Baqarah:
183-185).
D. Rukun Puasa
1. Niat. Puasa Ramadhan adalah salah satu ibadah, oleh karena itu tidak sah apabila tidak memakai niat
sebagaimana ibadah-ibadah lainnya.
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah
saw:
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Amal itu tergantung niat" (HR.Bukhari)
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Amal itu tergantung niat" (HR.Bukhari)
Mengapa perlu memakai niat? Karena ketika seseorang menahan diri tidak makan
dan minum, boleh jadi karena sakit, agar langsing
atau yang lainnya. Dan hal ini
tidak dapat dibedakan dan dipisahkan kecuali dengan niat. Oleh karena itu, Imam Nawawi
dalam bukunya Raudhatut Thalibin (2/350) berkata:
Artinya:
"Tidak sah puasa seseorang kecuali memakai niat. Dan tempat niat itu di dalam hati".
2. Menahan diri dari segala yang membatalkan sejak terbit fajar sampai terbenam matahari
Sehubungan dengan syarat niat, para ulama berpendapat bahwa sebuah niat dapat dipandang telah mencukupi dan sah apabila memenuhi empat persyaratan berikut ini:
2. Menahan diri dari segala yang membatalkan sejak terbit fajar sampai terbenam matahari
Sehubungan dengan syarat niat, para ulama berpendapat bahwa sebuah niat dapat dipandang telah mencukupi dan sah apabila memenuhi empat persyaratan berikut ini:
1. Yakin (al-jazm). Niat harus diucapkan dengan yakin dan penuh, tidak
boleh ragu-ragu. Oleh karena
itu, orang yang berniat puasa pada esok hari pada malam
yang ragu, atau diragukan, maka puasanya tidak sah karena niatnya
tidak bulat dan yakin (lihat dalam al-Hidayah 2/248) dan Raudhah at- Thalibin 2/353).
2. Ditentukan
(at-ta'yin). Orang berpuasa dalam berniatnya hendaklah tertentu, misalnya puasa wajib
atau sunnahkah, puasa Ramadhan atau
puasa nadzarkah dan seterusnya. Oleh
karena itu, orang yang sedang berpuasa menurut Jumhur ulama harus menentukan
dalam niatnya puasa apa yang
dilakukannya, apakah Ramadhan atau lainnya (lihat dalam
Raudhatut Thalibin 2/350, Bidayatul Mujtahid 1/435).
3. Diniatkan pada waktu malam (at-tabyit). Orang yang akan berpuasa hendaklah meniatkan puasanya itu pada malam hari
yakni antara matahari terbenam sampai terbit fajar. Syarat ini menurut madzhab Malikiyyah, Syafi'iyyah dan Hanabilah berdasarkan hadits
berikut ini:
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang tidak berniat puasa sebelum terbit fajar, maka
puasanya tidak sah" (HR. Abu Dawud dan Turmudzi).
4. Berniat pada setiap malam dari bulan
Ramadhan
Jumhur ulama berpendapat
bahwa berniat puasa Ramadhan itu
wajib diniatkan setiap malam. Artinya, apabila dalam satu Ramadhan itu terdapat
tiga puluh hari, maka ia harus berniat setiap malam, sehingga niatnya
itu semuanya berjumlah tiga puluh malam juga. Hal ini didasarkan
pada keumuman hadits Hafsah
di atas yang mengharuskan niat untuk setiap puasa. Di samping itu, setiap hari puasa Ramadhan itu adalah ibadah tersendiri yang
tidak terkait antara satu sama lainnya. Demikian
juga
apabila
satu
shaum rusak, maka
tidak
mempengaruhi
kerusakan
shaum hari-hari lainnya. Karena berdiri sendiri inilah, maka niatnya pun harus tiap malam
juga, tidak boleh berniat puasa pada
satu malam untuk sebulan puasa (lihat al-Majmu': 6/302, Raddul Mukhtar: 2/87).
Sementara menurut Zufar dan Imam Malik,
satu niat cukup untuk sebulan
puasa. Misalnya, apabila pada malam pertama berniat puasa, maka untuk malam-malam berikutnya tidak wajib berniat
lagi, karena sudah cukup
dengan niat di awal tadi.
Hal ini, menurut Zufar dan Imam Malik, karena puasa
seperti shalat;
niatnya cukup diawal,
bukan setiap gerakan
shalat (lihat dalam asy-Syarhul Kabir:
1/521).
Dari kedua pendapat di atas, penulis lebih cenderung untuk mengambil pendapat
pertama, Jumhur
Ulama, yang mewajibkan
niat setiap malam. Hal ini tentu untuk lebih hati-hati (ahwath).
Perlu penulis tambahkan juga, bahwa niat tersebut boleh sejak malam
hari tiba, juga boleh ketika sahur nanti, sebelum waktu Shubuh.
Apakah wanitanya juga wajib membayar kifarat?
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat dan terbagi kepada tiga kelompok. Kelompok pertama
yakni madzhab Syafi'i dan satu pendapat Imam
Ahmad bin Hanbal, bahwa wanita yang melakukan hubungan badan tidak wajib membayar kifarat. Yang wajib membayar kifarat hanyalah laki-lakinya saja. Hal
ini lantaran dalam hadits di atas, Rasulullah
saw hanya memerintahkan laki-laki
saja untuk membayar kifarat tersebut dan tidak memerintahkan wanitanya juga. Oleh karena itu, yang
wajib membayar kifarat hanyalah laki-lakinya saja.
Kelompok kedua
berpendapat bahwa cukup satu kifarat saja. Namun,
apabila kifaratnya berupa puasa dua bulan berturut-turut, maka yang harus
melakukannya adalah keduanya.
Pendapat ini adalah pendapatnya Imam Auza'i. Pendapat kedua ini tidak didasarkan kepada dalil yang kuat yang menguatkan pendapatnya.
Ketiga, jumhur ulama berpendapat bahwa wanita pun wajib membayar
kifarat. Hal ini lantaran beberapa alasan:
1. Baik laki-laki maupun wanita
yang melakukannya sama-sama telah mencemarkan kehormatan bulan
Ramadhan, oleh karena itu wanita pun wajib membayar kifarat.
Di samping itu, dalam ajaran Islam,
hukum bagi laki-laki dan perempuan tidak
dibedakan kecuali ada dalil yang tegas membedakannya.
Karena dalam kasus ini tidak ada dalil yang membedakannya, maka ketentuan
hukumnya disamakan
dengan laki-laki yakni sama-sama wajib membayar kifarat.
2. Mengenai alasan bahwa dalam hadits di atas Rasulullah saw tidak memerintahkan si wanita untuk membayar kifarat, hal ini tidak dapat dijadikan alasan kuat, karena boleh jadi saat itu si wanita sedang
ada udzur untuk tidak puasa, misalnya
sakit, bepergian atau lupa.
3. Boleh jadi Rasulullah saw tidak memerintahkan wanita tersebut untuk membayar kifarat juga lantaran Rasulullah saw mengetahui
kondisi ekonominya yang lemah.
Oleh karena itu, tentu ini tidak menutup
kewajiban keduanya, laki-laki dan wanita untuk sama-sama membayar
kifarat.
Dari ketiga pendapat di atas, penulis lebih cenderung
untuk mengambil pendapat jumhur ulama,
bahwa baik laki-laki maupuan wanita yang melakukan hubungan badan di siang hari
dengan sengaja, keduanya wajib membayar kifarat berikut qadha. Wallahu
'alam.
Apakah membayar kifarat
mesti berurutan?
Dalam hadits di atas nampak bahwa orang yang melakukan
hubungan badan di siang hari harus
membayar kifarat
(denda, tebusan) berikut
ini dengan cara memilih salah satunya berdasarkan urutan
berikut ini: membebaskan budak, puasa dua bulan
berturut-turut dan memberi makan fakir miskin
sebanyak enam puluh orang. Namun, persoalannya apakah kifarat tersebut harus berurutan
artinya yang pertama kali harus dilakukan
adalah membebaskan budak, apabila tidak ada diganti
dengan puasa dua
bulan
berturut-turut dan apabila tidak ada dengan memberi makan
enam puluh fakir miskin?
Jumhur ulama berpendapat bahwa dalam membayar kifarat tersebut
haruslah berurutan dimulai
dari membebaskan budak sampai memberi makan enam puluh fakir miskin. Menurut jumhur, tidak boleh
seseorang kifarahnya berpuasa
dua bulan berturut-turut kecuali ia tidak mampu untuk
membebaskan budak terlebih dahulu. Demikian juga tidak boleh dengan memberi makan enam puluh
fakir miskin, melainkan apabila ia tidak mampu membebaskan
budak dan tidak dapat berpuasa selama
dua bulan berturut-turut (lihat al-Mughni:
3/344, Bidayatul Mujtahid: 1/451, dan Fathul Bari: 4/198).
Sedangkan menurut Imam Malik,
boleh memilih salah satu dari ketiga hal tersebut menurut kemampuan dan kehendaknya. Hal ini lantaran terdapat sebuah
hadits lain yang membolehkan memilih tersebut, yakni:
Artinya: Dari Abu Hurairah
bahwasannya seorang laki-laki
pernah berbuka pada bulan Ramadhan.
Rasulullah saw lalu memerintahkan orang tersebut untuk menebusnya dengan jalan membebaskan budak atau puas dua bulan
berturut-turut atau memberi makan
enam puluh fakir miskin" (HR. Muslim).
Dari kedua pendapat ini nampak bahwa Jumhur mencoba menggunakan metode
tarjih (mendahulukan dalil
yang
lebih
kuat).
Hadits
yang menunjukkan tartib
diriwayatkan oleh Bukhari Muslim, sementara yang membolehkan
takhyir (memilih) diriwayatkan oleh Imam Muslim saja, dan tentu riwayat Imam Bukhari
Muslim lebih kuat dan lebih rajih dari pada riwayat Imam Muslim saja, dan karenanya lebih didahulukan daripada hadits Imam Muslim. Untuk itu, jumhur tetap berkesimpulan
bahwa kafarat tersebut harus dibayar secara berurutan bukan dengan jalan memilih. Pendapat ini,
hemat penulis, lebih tepat dan lebih
hati-hati, wallahu 'alam.
Bagaimana kalau melakukan jima'nya berkali-kali?
Dalam hal ini dapat
dikemukakan beberapa
ketentuan berikut (lihat
dalam Bidayatul Mujtahid:
1/453, al-Mughni: 3/341, dan al-Majmu': 6/370):
1. Apabila seseorang melakukan hubungan
badan pada siang hari di bulan Ramadhan, lalu membayar
kifarat, lalu berhubungan badan lagi pada hari yang lain, maka para ulama telah sepakat (ijma'),
bahwa ia harus membayar kifarat yang lain lagi.
2. Apabila dalam satu hari melakukan hubungan
badan berkali-kali, maka ia tidak wajib
membayar kifarat selain satu kali saja. Hal ini sudah merupakan Ijma (kesepakatan) para ulama.
3. Apabila seseorang melakukan hubungan
badan di siang hari Ramadhan dengan sengaja, lalu sebelum
ia membayar kifaratnya ia melakukan
hubungan badan lagi pada hari yang lain, maka para ulama terbagi dua pendapat.
Pertama, Imam
Malik dan Syafi'i dan para ulama lainnya, berpendapat bahwa setiap hari ia wajib membayar kifarat, karena setiap hari itu
adalah ibadah tersendiri.
Kedua, pendapat Imam
Abu Hanifah, Imam Auza'i dan az-Zuhri bahwa ia cukup membayar satu kifarat saja selama belum
membayar kifarat untuk
jima' yang pertama. Hal ini karena dikiaskan
(dianalogkan) kepada masalah had. Bahwa orang yang melakukan pelanggaran berkali-kali dan
belum dihad (dihukum), maka ketika akan dihad (dihukum), cukup satu had
saja. Namun, hemat penulis
pendapat Jumhur lebih rajih. Wallahu
a'alam.
Makasih, mudah-mudahan bermanfaat ilmunya. Amin.
BalasHapushttp://belajar-fiqih.blogspot.com/
Makasih, mudah-mudahan bermanfaat ilmunya. Amin.
BalasHapushttp://belajar-fiqih.blogspot.com/