Sabtu, 03 September 2011

Hal-hal yang dibolehkan bagi orang sedang berpuasa (tidak membatalkan puasa)


Ada beberapa hal yang boleh dilakukan atau boleh terjadi bagi seseorang yang sedang melakukan ibadah puasa (tidak membatalkan puasa):
1.   Dalam keadaan junub sampai terbit pajar

Bagi suami isteri yang pada malam hari melakukan hubungan badan atau bagi pemuda pemudi yang mimpi sehingga 'basah', boleh untuk tidak mandi terlebih dahulu sekalipun fajar sudah terbit (sudah Shubuh). Kemudian ia mandi besar setelah Shubuh dan berpuasa seperti biasa. Namun, mandi terlebih dahulu sebelum terbit fajar (sebelum waktu Shubuh tiba), tentu hal tersebut lebih baik dan lebih utama. Bolehnya sampai terbit fajar masih dalam keadaan junub, adalah didasarkan kepada hadits berikut ini:
Artinya:  "Dari  Aisyah  dan  Ummu  Salamah,  bahwasannya  Rasulullah  saw  pernah  masih  dalam keadaan  junub  (setelah  berhubungan  badan  dengan  isterinya)  padahal  fajar  telah  terbit.  Beliau kemudian mandi besar (setelah waktu fajar terbit) lalu berpuasa" (HR. Bukhari Muslim).
2.   Memakai siwak dan gosok gigi
Dalam makalah pertama memang disebutkan bahwa bau mulut orang yang sedang berpuasa di sisi Allah lebih wangi dari pada minyak kasturi, namun ini tidak berarti bahwa orang yang berpuasa tidak boleh membersihkan gigi dan mulutnya dengan anggapan semakin bau mulutnya, tentu semakin wangi di sisi Allah. Maksud hadits tersebut adalah untuk bau mulut yang alami, tidak dibuat-buat, yang pada umumnya orang yang terlambat mengisi perutnya dengan makanan, akan menimbulkan bau mulut yang kurang sedap.
Sedangkan mereka yang dengan sengaja membaukan mulutnya, tanpa menggosok gigi setelah sahur, misalnya, tentu hal ini dilarang dalam ajaran Islam, karena disamping akan menimbulkan
'pencemaran', juga akan menimbulkan kemadaratan bagi orang lain. Untuk itu, dalam ajaran Islam, bersiwak  atau  menggosok  gigi,  selama  tidak  terlalu  tebal  odolnya  dan  tidak  berlebihan,  tetap
diperbolehkan.  Bolehnya  orang  yang  sedang  berpuasa  menggosok  gigi  pada  siang  hari  adalah
berdasarkan keumuman hadits berikut ini:

Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Kalaulah tidak akan memberatkan kepada ummatku, pasti akan aku perintahkan mereka untuk bersiwak (menggosok gigi) setiap kali berwudhu" (HR. Bukhari Muslim).

Dari hadits di atas, Imam Bukhari, Ibn Khuzaemah dan Ibnu Hajar al-Asqalany (lihat dalam Fathul Bari: 4/158) berpendapat bahwa hadits di atas umum, meliputi baik bagi orang yang sedang berpuasa maupun yang tidak berpuasa. Oleh karena itu, hadits di atas menjadi dalil bahwa memakai siwak juga menggosok gigi bagi orang yang sedang berpuasa serta bagi yang bukan sedang berpuasa diperbolehkan setiap kali berwudhu dan shalat. Namun untuk gosok gigi, sebaiknya tidak dilakukan siang hari, dan lakukanlah pada malam hari untuk menjaga masuknya odol atau pasta gigi ke dalam kerongkongan.

3.   Kumur-kumur dan menghirup air ke hidung (madhmadhah dan istintsaq)
Berkumur-kumur atau menghirup air ke hidung baik ketika berwudhu maupun bukan berwudhu, bagi orang yang sedang berpuasa diperbolehkan. Hal ini karena praktek ini pernah dilakukan oleh
Rasulullah saw. Kecuali untuk menghirup air ke hidung, apabila dilakukan sedang berpuasa, sebaiknya

dilakukan tidak berlebihan (tidak sampai ke dalam rongga hidung sekali, cukup bagian depannya saja). Hal ini sebagaimana diriwayatkan dalam potongan hadits berikut ini:

Artinya: Rasulullah saw bersabda: "…dan teruskanlah dengan istintsaq (menghirup air ke dalam hidung), kecuali jika kamu sedang berpuasa" (HR. Turmudzi, Abu Dawud, Ahmad, Ibn Majah danNasai).

Para ulama juga berpendapat, bahwa orang yang berpuasa boleh berkumur-kumur sekalipun bukan ketika berwudhu atau bukan ketika mandi. Air basah yang tersisa di mulutnya setelah berkumur- kumur, jika menelannya sebagai air ludah juga tidak membatalkan puasa, karena hal ini termasuk hal yang sulit dihindari (maksudnya apabila berkumur-kumur otomatis basah dan ada air yang tersisa, asal tidak disengaja saja menelan sisa-sisa air). Bahkan menurut sebagian besar ulama seperti Imam Auza'i, Ishaq, dan Imam Syafi'i, apabila sedang berkumur-kumur tersebut, tiba-tiba ada air yang tertelan tanpa sengaja dan tidak berlebih-lebihan, maka tidak membatalkan puasa.
Sedangkan menurut Abu Hanifah dan Imam Malik, apabila sedang berkumur-kumur lalu ada air yang tertelan sekalipun tidak disengaja, tetap membatalkan puasanya, karena sekalipun air tersebut tertelannya tidak disengaja, namun, berkumur-kumurnya tetap disengaja (lihat dalam Raddul Mukhtar:2/98).

4.   Mencumbu dan mencium isteri
Mencumbu  dan  mencium  isteri  diperbolehkan  untuk  dilakukan  dalam  keadaan  puasa.  Tentu selama tidak berlebihan dan selama tidak akan 'terjerumus' kepada perbuatan lebih dari itu yakni Jima' (berhubungan badan). Karena, apabila sampai melakukan jima', tentu bukan saja puasanya batal, akan tetapi ia juga harus membayar kifarah (denda, tebusan) sebagaimana akan dijelaskan di bawah nanti. Ciuman dan cumbuan biasa yang tidak 'terlalu hot', diperbolehkan dilakukan dalam keadaan berpuasa. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:

Artinya: "Siti Aisyah bertutur: "Rasulullah saw terkadang mencium dan mencumbu (isteri-isterinya terutama Aisyah) ketika beliau sedang berpuasa. Hanya saja, beliau adalah orang yang paling dapat mengendalikan gairah syahwatnya" (HR. Bukhari Muslim)

Dalam hadits lain disebutkan:

 Artinya: Aisyah berkata: "Rasulullah saw menciumi saya ketika beliau sedang berpuasa dan saya pun berpuasa" (HR. Abu Dawud).

Hanya saja, hal itu boleh dilaukan bagi yang sudah agak tua atau yang sudah tua. Namun, bagi mereka yang masih muda dan masa pernikahannya masih baru, mencumbu atau mencium isterinya dimakruhkan (sebaiknya tidak dilakukan). Hal ini sebagaimana tercantum dalam hadits berikut ini:
Artinya: "Abdullah bin Amr bin al-Ash berkata: "Ketika kami sedang berada di samping Rasulullah saw, tiba-tiba datang seorang pemuda berkata: "Wahai Rasulullah, apakah saya boleh mencium isteri saya  ketika  sedang  berpuasa?"  Rasulullah  saw  menjawab:  "Tidak  boleh".  Tidak  lama  kemudian, datang seorang kakek-kakek (atau laki-laki setengah tua) berkata: "Apakah saya boleh mencium isteri saya ketika sedang berpuasa?" Rasulullah saw menjawab: "Boleh". Abdullah bin Amr bin al-Ash berkata: "Lalu kami saling memandang satu sama lain (maksudnya bingung kok yang tadi dibolehkan sementara satu lagi tidak). Rasulullah saw lalu bersabda: "Sesungguhnya laki-laki yang sudah tua itu lebih  dapat  mengendalikan  dirinya"  (HR.  Ahmad  dan  sanadnya  dhaif  karena  ada  seorang  rawi bernama Ibn Luhai'ah).
Namun, berkaitan dengan hadits ini, Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (6/208) berkata:
"Siti Aisyah ketika Rasulullah saw meninggal usianya delapan belas tahun. Dari sini nampak bahwa pendapat yang membedakan bolehnya mencium bagi yang sudah tua dan makruh bagi yang masih muda, adalah pendapat yang tidak tepat dan batal. Sebaliknya, mencium isteri (termasuk ketika puasa) termasuk perbuatan yang disukai dan termasuk salah satu sunnah Rasul juga termasuk salah satu upaya mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan mengikuti contoh dan praktek Rasulullah saw".
Pendapat Ibn Hazm di atas, hendak menolak adanya pemisahan antara pemuda dan orang tua dalam mencium isterinya. Penulis juga lebih sepakat untuk mengatakan bahwa larangan mencium tersebut lebih kepada illat, sebabnya yaitu takut sampai keluar air mani atau keterlaluan. Oleh karena itu, selama tidak dikhawatirkan sampai mengeluarkan air mani atau sampai berbuat jima, maka mencium isteri baik untuk yang sudah tua maupun  yang masih muda, diperbolehkan dan sah-sah saja. Namun, apabila dikhawatirkan akan menimbulkan keluarnya air mani, maka mencium isteri baik untuk laki-laki tua maupun muda, dilarang dan dimakruhkan. Untuk masalah ini, tentu yang bersangkutan lebih mengetahui kondisi masing-masing, apakah termasuk orang yang mudah keluar air
mani dan mudah terangsang, atau tidak. Kalau mudah mengeluarkan air mani, maka sebaiknya praktek
tersebut ditinggalkan.
Sebagian  orang  berpendapat  bahwa  kebolehan  mencium  isteri  ketika  sedang  berpuasa  adalah khusus untuk Rasulullah saw saja. Pendapat ini kurang tepat, karena banyak keterangan yang menunjukkan bahwa para sahabat pun melakukan hal demikian dan tidak dilarang oleh Rasulullah saw. Oleh karena itu, mencium isteri ketika sedang berpuasa boleh dilakukan oleh siapa saja selama dapat terjaga dari keluarnya air mani. Di antara riwayat yang mengatakan bahwa mencium isteri ketika sedang berpuasa bukan kehususan Rasulullah saw, adalah hadits berikut ini:
Artinya: "Jabir berkata bahwa suatu hari Umar bin Khatab berkata: "Suatu hari hati saya begitu bahagia, sehingga saya mencium isteri saya padahal saya sedang berpuasa". Saya lalu menghadap kepada Rasulullah saw sambil berkata: "Hari ini saya telah melakukan sesuatu yang kurang pantas". Rasulullah saw bertanya: "Perbuatan apa itu?" Umar menjawab: "Saya telah mencium isteri ketika saya   sedang   berpuasa".   Rasulullah   saw   lalu   bersabda:   "Bagaimana   menurut   kamu   (apakah membatalkan  puasa)  orang  yang  berkumur-kumur  dengan  air?"  Saya  menjawab:  "Tidak,  tidak mengapa  dan  tidak  membatalkan".  Rasulullah  saw  bersabda  kembali:  "Kalau  demikian,  ada  apa dengan kamu? (maksudnya kamu juga sama tidak membatalkan puasa kamu)" (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan haditsnya Shahih Ligairih).
5.   Periksa  darah  dan  disuntik  yang  bukan  untuk  tujuan  menambah  makanan  dan  kekuatan tubuh.
Memeriksa golongan darah atau disuntik bagi orang yang sakit, tidak membatalkan puasa, karena
hal ini sebagaiman dikatakan oleh para ulama semisal Ibn Taimiyyah (lihat dalam Haqiqatus Shiyam hal. 55) tidak termasuk perkara yang membatalkan puasa. Kecuali apabila suntikkan itu dimaksudkan untuk memberikan makanan kepada si pasien, maka hal tersebut dipandang membatalkan karena intinya sama dengan memasukkan makanan melalui perutnya.
6.   Berbekam (hijamah) dan donor darah
Hijamah atau dibekam pada awalnya termasuk perkara yang membatalkan puasa. Namun, tidak lama setelah itu, dinasakh (dihapus) sehingga bukan lagi termasuk yang membatalkan puasa (untuk lebih jelasnya mengenai persoalan ini, lihat dalam Nasikhul Hadits wa Mansukhuhu hal. 334-338
karya Ibn Syahiin). Dalil bolehnya melakukan bekam bagi orang yang sedang berpuasa adalah:

Artinya: "Ibn Abbas bertutur bahwasannya Rasulullah saw melakukan bekam ketika beliau sedang berpuasa" (HR. Bukhari).

Demikian juga dengan praktek donor darah, diperbolehkan dan tidak membatalkan ibadah puasa.
7.   Mencicipi masakan, makanan
Mencicipi makanan biasanya banyak dilakukan oleh ibu-ibu ketika memasak. Praktek seperti ini diperbolehkan dengan catatan bahwa masakan yang dicicipi tersebut tidak sampai ke tenggorokan. Jadi hanya nempel dilidah sedikit saja, lalu segera diludahkan. Hal ini sebagaimana dituturkan dalam sebuah riwayat dari Ibn Abbas berikut ini:

Artinya: Ibnu Abbas berkata: "Tidak mengapa bagi orang yang sedang berpuasa untuk mencicipi cuka atau apa saja, selama tidak masuk ke dalam tenggorokkan" (HR. Baihaki).

Sehubungan  dengan  masalah  ini  Ibnu  Taimiyyah  berkata:  "…Mencicipi  makanan  apabila dilakukan tanpa keperluan dan kepentingan, makruh untuk dilakukan. Namun tidak membatalkan puasa. Sedangkan apabila dilakukan karena ada keperluan atau kepentingan, maka dia seperti orang yang berkumur-kumur" (lihat Majmu'ul Fatawa: 25/266).
Dalam riwayat lain dikatakan:

Artinya:  Dari  Yunus  dari  Hasan  berkata:  "Saya  melihatnya  mengunyah  makanan  untuk  bayi sedangkan dia dalam keadaan puasa. Ia mengunyahnya lalu mengeluarkannya dari mulutnya dan meletakkannya ke mulut bayi" (HR. Abdurrazaq dan haditsnya Shahih sanadnya).

Jumhur ulama memberikan catatan, bolehnya mengunyah atau mencicipi makanan ini bagi yang berkepentingan dan selama tidak sampai ke tenggorokan. Apabila makanan tersebut masuk ke dalam tenggorokkan, maka puasanya batal (lihat dalam al-Mughni: 3/109, Majmu'ul Fatawa: 6/353, dan Fathul Bari: 4/160).
8.   Bercelak, mengoleskan obat mata atau apa saja ke dalam mata, juga mencium bau-bauan
Bercelak atau membersihkan kotoran di mata dengan jalan meneteskan obat mata, salep, atau apa saja ke dalam mata, atau mencium bau-bauan dan wangi-wangian, diperbolehkan bagi orang yang sedang berpuasa. Hal ini karena perkara tersebut tidak termasuk perkara yang membatalkan puasa sebagaimana dituturkan oleh Ibn Taimiyyah dalam bukunya Haqiqatus Shiyam, muridnya Ibn Qayyim al-Jauziyyah dalam bukunya Zadul Ma'ad. Imam Bukhari sebagaimana dikutip oleh Ibn Hajar dalam Fathul Bari (4/153) mengatakan:
Artinya: "Anas, Hasan dan Ibrahim tidak melihat bercelak bagi orang yang sedang berpuasa itu membatalkan puasa".
9.   Mandi dan menuangkan air dingin ke badan dan kepala
Orang yang berpuasa juga diperbolehkan untuk menuangkan air dingin ke badan atau kepalanya untuk mengademkan badan dari kehausan dan sengatan matahari. Di samping itu, orang yang berpuasa apabila sangat haus dan udara sangat panas, diperbolehkan untuk merendam dirinya di atas bak, di kolam atau di mana saja. Hal ini sebagaimana dituturkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya bab Mandi bagi orang yang sedang berpuasa (Bab Ightisal ash-Shaim) disebutkan:
Artinya: Imam Bukhari berkata: "Ibnu Umar suatu hari meminta air untuk mengademkan badannya karena sangat haus dengan cara merendam dan membasahi bajunya lalu ia pakai ketika ia sedang berpuasa. Imam Sya'bi juga masuk ke dalam toilet ketika sedang berpuasa (untuk mandi dan mengademkan badannya karena haus atau kepanasan). Imam Hasan (ulama dari madzhab Hanafiyyah) berpendapat: "Tidak mengapa orang yang sedang berpuasa berkumur-kumur dan mengademkan tubuhnya (baik dengan jalan mandi maupun dengan menuangkan air ke atas kepala dan tubuhnya).

Artinya: "Nabi saw ketika sedang berpuasa, terkadang menuangkan air ke atas kepalanya karena rasa dahaga atau udara panas yang menyengat" (HR. Abu Dawud, Ahmad dan sanadnya Shahih).

10. Menelan dahak dan ingus (an-nukhamah)
Menurut madzhab Hanafiyyah, pendapat rajih madzhab Malikiyyah dan satu riwayat dari Imam Ahmad, bahwa menelan dahak atau ingus tidak membatalkan puasa. Karena baik dahak ataupun ingus adalah termasuk hal-hal yang berada di dalam mulut, bukan diperoleh dari luar. Oleh karenanya, baik dahak maupun ingus disamakan dengan air ludah yang tidak membatalkan puasa (lihat dalam al- Mughni: 2/43 dan Raduul Mukhtar: 2/101).
Sedangkan menurut Syafi'iyyah dan Hanabilah, boleh menelan dahak atau ingus selama belum sampai ke mulut (maksudnya apabila masih berada di dalam tenggorokkan, atau hidung). Namun, apabila dahak dan ingus tersebut sudah sampai di dalam mulut, lalu menelannya, maka puasanya menjadi batal (lihat dalam Raudhatut Thalibin: 2/360).
Hemat penulis, tidak mengapa menelannya sekalipun sudah berada di mulut selama tidak diatkan untuk minum ataupun makan.
11. Menelan sesuatu yang tidak dapat dihindari
Sesuatu yang tidak dapat dihindari seperti sisa-sisa makanan yang sedikit dan ringan atau darah sedikit yang berada di sela-sela gigi (misalnya tiba-tiba ada darah di gigi), selama tidak ada maksud sengaja untuk memakannya, maka menurut Jumhur ulama tidak membatalkan puasa karena hal-hal
tersebut  disamakan  dengan  air  ludah.  Namun,  apabila  darah  tersebut  banyak  atau  sisa  makanan
tersebut  besar  dan  masih  beraroma  rasa,  lalu  ditelan  sengaja,  menurut  Jumhur  ulama  termasuk
Hanafiyyah,  puasanya batal (lihat dalam Raddul Mukhtar: 2/98, 112, Raudhatut Thalibin: 2/361).
Sedangkan menurut Syafi'iyyah dan Hanabilah, air ludah yang bercampur dengan darah sekalipun sedikit, membatalkan puasa karena darah, menurut mereka, najis yang tidak boleh ditelan (Raddul Mukhtar: 2/98)
Hemat penulis, apabila menelan darah dengan disengaja, tentu bukan saja membatalkan puasa akan tetapi   juga dilarang, karena darah adalah perkara yang tidak boleh dimakan. Namun, apabila darah tersebut tertelan tidak sengaja atau sulit dihindari, maka tidak mengapa.
12. Makan, minum dan berhubungan badan karena lupa, tidak disengaja
Makan, minum atau berhubungan badan yang tidak disengaja tidak membatalkan puasa. Dalam sebuah hadits dikatakan:
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang lupa, ketika dia sedang berpuasa, lalu makan dan minum, maka teruskanlah puasanya, karena itu berarti Allah telah memberi makan dan minum orang tersebut" (HR. Bukhari Muslim). Dalam al-Qur'an juga dikatakan:

Artinya:  "Dan  tidak  ada  dosa  atasmu  terhadap  apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu" (HR. al-Ahzab: 5).

13. Muntah yang tidak disengaja
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:

Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang terpaksa harus muntah (tidak disengaja), maka ia  tidak  perlu  mengqadha  (tidak  membatalkan  puasa). Namun, barangsiapa yang muntah dengan disengaja,  maka  ia  harus  mengqadha"  (HR.  Abu  Dawud,  Turmudzi  dan  disahihkan  oleh  Syaikh Albani)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar