Ada beberapa hal yang boleh dilakukan
atau boleh terjadi bagi seseorang
yang sedang melakukan
ibadah puasa (tidak membatalkan puasa):
1. Dalam keadaan junub sampai terbit pajar
Bagi suami isteri
yang pada malam hari melakukan
hubungan badan atau bagi pemuda pemudi
yang mimpi sehingga 'basah', boleh untuk tidak mandi
terlebih dahulu sekalipun fajar sudah terbit (sudah Shubuh). Kemudian ia mandi
besar setelah Shubuh dan berpuasa seperti biasa. Namun, mandi terlebih dahulu
sebelum terbit fajar
(sebelum waktu Shubuh tiba),
tentu hal tersebut
lebih baik dan lebih utama. Bolehnya
sampai terbit fajar masih dalam
keadaan junub, adalah
didasarkan kepada hadits
berikut ini:
Artinya: "Dari Aisyah
dan Ummu Salamah,
bahwasannya Rasulullah
saw pernah masih dalam keadaan
junub (setelah berhubungan
badan dengan isterinya)
padahal fajar telah
terbit. Beliau kemudian mandi
besar (setelah waktu fajar terbit) lalu berpuasa" (HR. Bukhari Muslim).
2. Memakai siwak
dan gosok gigi
Dalam makalah pertama memang disebutkan
bahwa bau mulut orang yang sedang berpuasa di sisi
Allah lebih wangi dari pada minyak
kasturi, namun ini tidak berarti
bahwa orang yang berpuasa tidak boleh membersihkan gigi dan mulutnya dengan anggapan semakin
bau mulutnya, tentu semakin wangi di sisi Allah. Maksud hadits
tersebut adalah untuk bau mulut
yang alami, tidak dibuat-buat, yang
pada umumnya orang yang terlambat mengisi
perutnya dengan makanan, akan menimbulkan bau mulut yang kurang sedap.
Sedangkan mereka yang dengan sengaja
membaukan mulutnya, tanpa
menggosok gigi setelah sahur, misalnya,
tentu hal ini dilarang dalam
ajaran Islam, karena disamping akan menimbulkan
'pencemaran', juga akan menimbulkan kemadaratan bagi orang lain. Untuk itu, dalam ajaran Islam, bersiwak atau menggosok gigi, selama
tidak
terlalu
tebal
odolnya
dan
tidak
berlebihan,
tetap
diperbolehkan.
Bolehnya
orang
yang
sedang
berpuasa
menggosok gigi pada siang hari adalah
berdasarkan keumuman
hadits berikut ini:
Artinya: "Rasulullah saw
bersabda: "Kalaulah tidak akan memberatkan kepada ummatku, pasti akan aku perintahkan mereka untuk bersiwak (menggosok
gigi) setiap kali berwudhu" (HR. Bukhari Muslim).
Dari hadits di atas, Imam Bukhari,
Ibn Khuzaemah dan Ibnu Hajar
al-Asqalany (lihat dalam Fathul
Bari: 4/158) berpendapat bahwa
hadits di atas umum, meliputi
baik bagi orang yang sedang berpuasa maupun
yang tidak berpuasa. Oleh karena itu, hadits di atas menjadi dalil bahwa memakai siwak juga menggosok gigi bagi orang yang sedang berpuasa serta bagi yang
bukan sedang berpuasa diperbolehkan setiap kali berwudhu
dan shalat. Namun untuk gosok gigi,
sebaiknya tidak dilakukan siang hari, dan lakukanlah pada malam hari
untuk menjaga masuknya odol atau pasta gigi ke dalam kerongkongan.
3. Kumur-kumur dan menghirup air ke hidung (madhmadhah dan istintsaq)
Berkumur-kumur atau menghirup
air ke hidung baik ketika berwudhu maupun
bukan berwudhu, bagi orang yang sedang berpuasa
diperbolehkan. Hal ini karena praktek
ini pernah dilakukan oleh
Rasulullah
saw. Kecuali untuk menghirup air ke hidung, apabila dilakukan sedang berpuasa, sebaiknya
dilakukan tidak berlebihan (tidak sampai ke dalam rongga hidung sekali, cukup bagian
depannya saja). Hal ini sebagaimana
diriwayatkan dalam potongan hadits
berikut ini:
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "…dan teruskanlah dengan istintsaq (menghirup
air ke dalam hidung), kecuali jika kamu sedang berpuasa" (HR. Turmudzi, Abu Dawud, Ahmad, Ibn Majah danNasai).
Para ulama juga berpendapat, bahwa orang yang berpuasa boleh berkumur-kumur
sekalipun bukan ketika berwudhu atau bukan ketika mandi. Air basah yang
tersisa di mulutnya setelah
berkumur- kumur, jika menelannya sebagai
air ludah juga tidak
membatalkan puasa, karena hal ini termasuk
hal yang sulit dihindari (maksudnya
apabila berkumur-kumur otomatis
basah dan ada air yang tersisa, asal tidak disengaja saja menelan sisa-sisa air). Bahkan menurut
sebagian besar ulama seperti Imam Auza'i, Ishaq, dan Imam Syafi'i, apabila sedang berkumur-kumur tersebut, tiba-tiba
ada air yang tertelan tanpa sengaja dan tidak berlebih-lebihan, maka tidak membatalkan puasa.
Sedangkan menurut Abu Hanifah dan Imam
Malik, apabila sedang berkumur-kumur lalu ada air yang
tertelan sekalipun tidak disengaja, tetap membatalkan
puasanya, karena sekalipun air tersebut tertelannya tidak disengaja, namun, berkumur-kumurnya tetap disengaja
(lihat dalam Raddul Mukhtar:2/98).
4. Mencumbu dan mencium isteri
Mencumbu dan mencium isteri diperbolehkan untuk dilakukan
dalam keadaan puasa. Tentu selama tidak berlebihan dan selama tidak akan 'terjerumus'
kepada perbuatan lebih dari itu yakni Jima'
(berhubungan badan). Karena,
apabila sampai melakukan jima', tentu bukan saja
puasanya batal, akan tetapi ia juga harus membayar kifarah (denda, tebusan) sebagaimana akan dijelaskan di bawah nanti. Ciuman dan cumbuan biasa yang tidak 'terlalu
hot', diperbolehkan dilakukan dalam keadaan berpuasa. Hal ini sebagaimana
disebutkan dalam hadits berikut ini:
Artinya: "Siti Aisyah bertutur: "Rasulullah saw terkadang
mencium dan mencumbu (isteri-isterinya
terutama Aisyah) ketika beliau sedang berpuasa.
Hanya saja, beliau adalah
orang yang paling
dapat mengendalikan gairah
syahwatnya" (HR. Bukhari Muslim)
Dalam hadits lain disebutkan:
Artinya: Aisyah berkata: "Rasulullah saw menciumi
saya ketika beliau sedang berpuasa dan saya pun berpuasa" (HR. Abu Dawud).
Hanya saja, hal itu boleh dilaukan bagi yang sudah agak tua atau
yang sudah tua. Namun, bagi mereka yang masih muda dan masa pernikahannya masih baru, mencumbu atau mencium isterinya dimakruhkan (sebaiknya tidak dilakukan). Hal ini sebagaimana tercantum dalam hadits berikut
ini:
Artinya: "Abdullah bin Amr bin al-Ash berkata: "Ketika
kami sedang berada di samping Rasulullah saw, tiba-tiba
datang seorang pemuda berkata:
"Wahai Rasulullah, apakah saya boleh mencium isteri saya ketika sedang
berpuasa?" Rasulullah
saw menjawab:
"Tidak boleh". Tidak
lama kemudian,
datang seorang kakek-kakek (atau laki-laki
setengah tua) berkata:
"Apakah saya boleh mencium isteri saya ketika sedang berpuasa?" Rasulullah saw menjawab:
"Boleh". Abdullah bin Amr
bin al-Ash berkata: "Lalu kami saling
memandang
satu sama lain (maksudnya bingung kok yang tadi dibolehkan
sementara satu lagi tidak).
Rasulullah saw lalu bersabda: "Sesungguhnya laki-laki yang sudah tua itu
lebih dapat mengendalikan
dirinya" (HR.
Ahmad dan
sanadnya dhaif karena
ada seorang rawi bernama
Ibn Luhai'ah).
Namun, berkaitan dengan hadits ini, Ibnu Hazm dalam al-Muhalla
(6/208) berkata:
"Siti Aisyah ketika Rasulullah saw meninggal usianya delapan belas tahun. Dari sini nampak bahwa
pendapat yang membedakan
bolehnya mencium
bagi yang sudah tua dan makruh bagi yang masih muda, adalah pendapat yang tidak tepat dan batal. Sebaliknya, mencium
isteri (termasuk ketika puasa) termasuk perbuatan
yang disukai dan termasuk salah satu sunnah Rasul
juga termasuk salah
satu upaya mendekatkan diri kepada Allah
dengan jalan mengikuti contoh dan praktek
Rasulullah saw".
Pendapat Ibn Hazm di atas, hendak
menolak adanya pemisahan
antara pemuda dan orang
tua dalam mencium isterinya. Penulis juga lebih sepakat untuk mengatakan
bahwa larangan mencium
tersebut lebih kepada illat, sebabnya
yaitu takut sampai keluar air mani atau keterlaluan. Oleh karena itu, selama tidak dikhawatirkan sampai mengeluarkan air mani
atau sampai berbuat jima, maka
mencium isteri baik untuk yang sudah tua maupun yang
masih muda, diperbolehkan dan sah-sah saja. Namun, apabila
dikhawatirkan akan menimbulkan keluarnya
air mani, maka mencium isteri baik untuk laki-laki tua maupun muda,
dilarang dan dimakruhkan. Untuk masalah ini, tentu yang bersangkutan lebih mengetahui
kondisi masing-masing, apakah termasuk orang yang mudah keluar air
mani dan mudah terangsang, atau tidak. Kalau mudah mengeluarkan air mani, maka sebaiknya praktek
tersebut
ditinggalkan.
Sebagian orang berpendapat bahwa kebolehan
mencium isteri ketika sedang berpuasa
adalah
khusus untuk Rasulullah saw saja. Pendapat ini kurang
tepat, karena banyak keterangan yang menunjukkan bahwa
para sahabat pun melakukan
hal demikian dan tidak dilarang
oleh Rasulullah saw. Oleh karena itu, mencium isteri ketika sedang berpuasa
boleh dilakukan oleh siapa saja selama dapat terjaga dari keluarnya air mani. Di antara riwayat
yang mengatakan bahwa mencium isteri
ketika sedang berpuasa bukan kehususan Rasulullah saw, adalah hadits berikut
ini:
Artinya: "Jabir berkata
bahwa suatu hari Umar bin Khatab
berkata: "Suatu hari hati saya begitu
bahagia, sehingga saya mencium isteri saya padahal saya sedang berpuasa". Saya lalu menghadap
kepada Rasulullah saw sambil berkata:
"Hari ini saya telah melakukan
sesuatu yang kurang pantas". Rasulullah
saw bertanya: "Perbuatan apa itu?" Umar menjawab:
"Saya telah mencium isteri
ketika saya sedang berpuasa". Rasulullah saw
lalu
bersabda: "Bagaimana menurut kamu (apakah membatalkan puasa) orang yang berkumur-kumur
dengan air?" Saya menjawab: "Tidak, tidak mengapa dan
tidak membatalkan". Rasulullah
saw bersabda kembali: "Kalau
demikian, ada
apa dengan kamu? (maksudnya
kamu juga sama tidak
membatalkan
puasa kamu)" (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan haditsnya Shahih Ligairih).
5. Periksa darah
dan
disuntik
yang
bukan
untuk
tujuan
menambah
makanan
dan
kekuatan
tubuh.
Memeriksa golongan
darah atau disuntik
bagi orang yang sakit, tidak membatalkan puasa, karena
hal ini sebagaiman dikatakan oleh para ulama semisal Ibn Taimiyyah (lihat dalam
Haqiqatus Shiyam hal. 55) tidak termasuk perkara
yang membatalkan puasa.
Kecuali apabila suntikkan itu dimaksudkan
untuk memberikan makanan kepada si pasien,
maka hal tersebut
dipandang membatalkan karena intinya sama dengan memasukkan makanan
melalui perutnya.
6. Berbekam (hijamah)
dan donor darah
Hijamah atau dibekam pada awalnya termasuk perkara yang membatalkan puasa. Namun,
tidak lama setelah itu, dinasakh (dihapus) sehingga bukan lagi termasuk yang membatalkan puasa (untuk lebih jelasnya mengenai
persoalan ini, lihat
dalam Nasikhul Hadits
wa Mansukhuhu hal.
334-338
karya Ibn Syahiin). Dalil bolehnya melakukan bekam bagi
orang yang sedang berpuasa adalah:
Artinya: "Ibn Abbas bertutur bahwasannya Rasulullah saw melakukan
bekam ketika beliau sedang
berpuasa" (HR. Bukhari).
Demikian juga dengan praktek donor darah, diperbolehkan dan tidak membatalkan
ibadah puasa.
7. Mencicipi masakan, makanan
Mencicipi makanan biasanya
banyak dilakukan oleh ibu-ibu ketika memasak.
Praktek seperti ini diperbolehkan dengan catatan
bahwa masakan yang dicicipi
tersebut tidak sampai ke tenggorokan.
Jadi hanya nempel dilidah sedikit
saja, lalu segera diludahkan. Hal ini sebagaimana
dituturkan dalam sebuah riwayat dari Ibn Abbas berikut ini:
Artinya: Ibnu Abbas berkata: "Tidak mengapa bagi orang yang sedang berpuasa untuk mencicipi cuka atau apa saja, selama tidak masuk
ke dalam tenggorokkan" (HR.
Baihaki).
Sehubungan dengan masalah ini
Ibnu Taimiyyah berkata: "…Mencicipi makanan apabila dilakukan tanpa keperluan dan
kepentingan, makruh untuk dilakukan.
Namun tidak membatalkan puasa.
Sedangkan apabila dilakukan karena ada keperluan
atau kepentingan, maka dia seperti
orang yang berkumur-kumur" (lihat Majmu'ul Fatawa: 25/266).
Dalam riwayat lain dikatakan:
Artinya: Dari Yunus dari Hasan berkata: "Saya
melihatnya mengunyah makanan untuk
bayi sedangkan dia dalam
keadaan puasa. Ia mengunyahnya lalu mengeluarkannya dari mulutnya
dan meletakkannya ke mulut bayi" (HR. Abdurrazaq dan
haditsnya Shahih sanadnya).
Jumhur ulama memberikan catatan, bolehnya mengunyah atau mencicipi makanan ini
bagi yang berkepentingan dan selama
tidak sampai ke tenggorokan. Apabila makanan tersebut masuk ke dalam tenggorokkan, maka puasanya batal (lihat dalam al-Mughni: 3/109, Majmu'ul Fatawa: 6/353, dan Fathul Bari: 4/160).
8. Bercelak, mengoleskan obat mata atau apa
saja ke dalam mata, juga mencium bau-bauan
Bercelak atau membersihkan
kotoran di mata dengan jalan meneteskan obat mata, salep, atau apa saja ke dalam mata, atau mencium bau-bauan dan wangi-wangian, diperbolehkan bagi orang yang sedang berpuasa. Hal ini karena
perkara tersebut tidak termasuk
perkara yang membatalkan puasa sebagaimana dituturkan oleh Ibn Taimiyyah dalam bukunya Haqiqatus Shiyam, muridnya
Ibn Qayyim al-Jauziyyah dalam bukunya Zadul Ma'ad. Imam
Bukhari sebagaimana dikutip oleh Ibn Hajar dalam
Fathul Bari (4/153) mengatakan:
Artinya: "Anas, Hasan dan Ibrahim tidak melihat bercelak
bagi orang yang sedang berpuasa
itu membatalkan puasa".
9. Mandi dan menuangkan air dingin ke badan dan
kepala
Orang yang berpuasa juga diperbolehkan untuk menuangkan air dingin ke badan atau
kepalanya untuk mengademkan badan dari kehausan dan sengatan matahari.
Di samping itu, orang yang berpuasa
apabila sangat haus dan udara sangat panas, diperbolehkan untuk merendam dirinya di atas bak, di
kolam atau di mana saja. Hal ini sebagaimana dituturkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya bab Mandi bagi orang yang sedang berpuasa (Bab Ightisal ash-Shaim) disebutkan:
Artinya: Imam Bukhari berkata: "Ibnu Umar suatu hari meminta air untuk mengademkan badannya
karena sangat haus dengan cara merendam dan membasahi bajunya lalu ia pakai ketika ia sedang
berpuasa. Imam Sya'bi juga masuk ke dalam
toilet ketika sedang berpuasa (untuk mandi dan
mengademkan badannya karena haus atau kepanasan). Imam
Hasan (ulama dari madzhab Hanafiyyah) berpendapat: "Tidak mengapa orang yang sedang berpuasa berkumur-kumur
dan mengademkan tubuhnya (baik dengan jalan mandi maupun dengan menuangkan air ke atas kepala dan
tubuhnya).
Artinya: "Nabi saw ketika sedang berpuasa, terkadang
menuangkan air ke atas kepalanya karena rasa
dahaga atau udara panas yang menyengat"
(HR. Abu Dawud, Ahmad dan sanadnya
Shahih).
10. Menelan dahak dan ingus (an-nukhamah)
Menurut madzhab Hanafiyyah, pendapat rajih madzhab
Malikiyyah dan satu riwayat dari Imam
Ahmad, bahwa menelan dahak atau ingus tidak membatalkan puasa. Karena baik dahak ataupun
ingus adalah termasuk hal-hal yang berada di dalam mulut,
bukan diperoleh dari luar. Oleh karenanya, baik dahak
maupun ingus disamakan dengan air ludah yang tidak membatalkan
puasa (lihat dalam al- Mughni: 2/43 dan Raduul Mukhtar: 2/101).
Sedangkan menurut Syafi'iyyah dan Hanabilah, boleh menelan
dahak atau ingus selama belum sampai ke mulut (maksudnya apabila
masih berada di dalam
tenggorokkan, atau hidung). Namun, apabila dahak dan ingus tersebut sudah sampai di dalam mulut, lalu menelannya, maka puasanya menjadi
batal (lihat dalam Raudhatut
Thalibin: 2/360).
Hemat penulis, tidak mengapa menelannya
sekalipun sudah berada di mulut selama tidak diatkan untuk minum ataupun makan.
11.
Menelan sesuatu yang tidak dapat dihindari
Sesuatu yang tidak dapat dihindari seperti
sisa-sisa makanan yang sedikit dan ringan atau darah
sedikit yang berada di sela-sela
gigi (misalnya tiba-tiba ada darah di gigi), selama tidak ada maksud sengaja untuk memakannya,
maka menurut Jumhur ulama tidak membatalkan
puasa karena hal-hal
tersebut
disamakan dengan air ludah.
Namun, apabila darah tersebut
banyak
atau
sisa
makanan
tersebut besar
dan
masih beraroma
rasa,
lalu
ditelan
sengaja,
menurut Jumhur
ulama termasuk
Hanafiyyah, puasanya batal (lihat dalam Raddul Mukhtar: 2/98, 112, Raudhatut
Thalibin: 2/361).
Sedangkan menurut Syafi'iyyah dan Hanabilah, air ludah yang bercampur dengan darah sekalipun sedikit, membatalkan
puasa karena darah, menurut mereka, najis yang tidak boleh ditelan (Raddul
Mukhtar: 2/98)
Hemat penulis,
apabila menelan
darah dengan disengaja, tentu bukan saja membatalkan puasa akan tetapi juga dilarang, karena darah adalah
perkara yang tidak boleh dimakan. Namun, apabila darah tersebut tertelan tidak
sengaja atau sulit dihindari, maka
tidak mengapa.
12. Makan, minum dan
berhubungan badan karena lupa, tidak disengaja
Makan, minum atau
berhubungan badan yang tidak disengaja
tidak membatalkan puasa. Dalam
sebuah hadits dikatakan:
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang lupa, ketika dia sedang berpuasa, lalu makan dan minum, maka
teruskanlah puasanya, karena itu berarti Allah telah memberi
makan dan minum orang tersebut" (HR. Bukhari Muslim). Dalam al-Qur'an juga dikatakan:
Artinya: "Dan
tidak ada dosa
atasmu terhadap
apa yang kamu khilaf
padanya, tetapi (yang
ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu" (HR. al-Ahzab: 5).
13. Muntah yang tidak
disengaja
Hal ini
sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang
terpaksa harus muntah (tidak
disengaja), maka ia tidak
perlu mengqadha (tidak membatalkan
puasa). Namun, barangsiapa yang muntah dengan
disengaja, maka
ia
harus
mengqadha" (HR. Abu
Dawud, Turmudzi dan disahihkan
oleh Syaikh Albani)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar