Rabu, 07 September 2011

Kafarat Pembunuhan


A. Pembunuhan dengan Sengaja

Telah dijelaskan pada beberapa edisi terdahulu, pembunuhan terbagi menjadi tiga jenis: sengaja, mirip dengan sengaja, dan tidak sengaja. Sebagai kelanjutannya, kami paparkan permasalahan “pembunuhan dengan sengaja” dalam rubrik fikih ini.
 
Definisi Pembunuhan Dengan sengaja (Qatlu al-‘Amd)
Pembunuhan dengan sengaja, dalam bahasa Arab, disebut “qatlu al-‘amd”. Secara etimologi bahasa Arab, kata qatlu al-‘amd tersusun dari dua kata, yaitu al-qatlu dan al-‘amd. Kata “al-qatlu” artinya “perbuatan yang dapat menghilangkan jiwa”, [2] sedangkan kata “al-‘amd” artinya “sengaja dan berniat”. [3] Yang dimaksud pembunuhan dengan sengaja di sini adalah seorang mukalaf secara sengaja (dan terencana) membunuh jiwa yang terlindungi darahnya, dengan cara dan alat yang biasanya dapat membunuh. 
Rukun Pembunuhan Dengan Sengaja
Dari definisi di atas, jelaslah bahwa pembunuhan dengan sengaja memiliki rukun dan syarat, di antaranya:
1. Korban terbunuh. Apabila seseorang sengaja membunuh korban dengan senjata yang bisa membunuh, seperti kapak atau sejenisnya, namun korbannya selamat dan dapat disembuhkan, maka ini tidak termasuk pembunuhan dengan sengaja.  Korban terbunuh ini memiliki dua syarat:
a. Bani adam (manusia). Apabila korban yang terbunuh bukan manusia, tentulah tidak dikatakan pembunuhan dengan sengaja.
b. Terjaga darahnya (ma’shum ad-dam). Hal ini mencakup semua jiwa yang mendapatkan perlindungan negara Islam, seperti kaum muslimin, dzimi (ahli dzimah), orang kafir yang di bawah perjanjian (al-mu’ahad), dan orang kafir yang meminta perlindungan (al-musta’min). Dengan demikian, seseorang dihukumi membunuh dengan sengaja, apabila ia mengetahui bahwa orang yang ia inginkan untuk terbunuh adalah manusia dan terlindungi jiwanya menurut syariat Islam.
2. Kesengajaan membunuh korban atau keinginan dari pembunuh untuk membunuh korban. Hal ini mencakup dua keinginan, yaitu kesengajaan membunuh (qashdu al-jinayat) dan sengaja menjadikan pihak terbunuh sebagai korban (qashdu al-majni ‘alaih). Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan, “Dua jenis kesengajaan ini harus terpenuhi.Sseandainya tidak ada niat untuk membunuh dengan menggerakkan senjata, lalu senjatanya terlempar (tidak sengaja) dan membunuh orang, maka hal ini tidak dikatakan membunuh dengan sengaja, karena si pelaku pembunuhan tidak berniat membunuh. Juga, seandainya ia sengaja menembak sesuatu dan ternyata yang ditembak itu adalah seorang manusia, maka ini pun bukan kesengajaan, karena si pelaku pembunuhan tidak sengaja (dan terencana) membunuh orang yang terlindungi darahnya tersebut. 
3. Alat yang digunakan adalah alat yang bisa membunuh, baik senjata tajam atau yang lainnya. Ini termasuk rukun pembunuhan dengan sengaja yang terpenting. Hal ini karena syarat kesengajaan membunuh adalah perkara batin yang tidak mudah dibuktikan. Oleh karena itu, penetapan hukumnya dikembalikan kepada alat yang digunakan, karena  itu merupakan perkara yang nyata.
Apabila rukun-rukun ini tidak ada salah satunya, maka pembunuhan tersebut tidak dihukumi sebagai pembunuhan yang disengaja.
Klasifikasi Pembunuhan Dengan Sengaja
Dari definisi pembunuhan dengan sengaja di atas, dapat disimpulkan bahwa pembunuhan dengan sengaja terbagi dalam dua jenis.
Jenis pertama, membunuh dirinya sendiri (bunuh diri).
Jiwa manusia bukanlah miliknya pribadi, namun masih milik penciptanya. Jiwa adalah amanah yang harus dijaga dan dipelihara. Oleh karena itu, membunuh diri sendiri atau merusaknya tanpa ada maslahat syar‘i adalah tindakan terlarang. Begitu juga, seseorang tidak boleh beraktifitas dengan anggota tubuhnya kecuali aktifitas yang mendatangkan kemanfaatan. Karena itulah, Allah menjadikan perbuatan bunuh diri termasuk dosa besar, sebab ada pelanggaran amanah serta sikap tidak ridha dengan ketetapan dan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Perbuatan ini dilarang dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka-sama-suka di antara kamu. Serta, janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” (Qs. an-Nisa`: 29)
Demikian juga, bunuh diri dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ يَتَرَدَّى فِيهِ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا وَمَنْ تَحَسَّى سُمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَسُمُّهُ فِي يَدِهِ يَتَحَسَّاهُ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَدِيدَةٍ فَحَدِيدَتُهُ فِي يَدِهِ يَجَأُ بِهَا فِي بَطْنِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا
“Barangsiapa yang bunuh diri dengan terjun dari atas bukit, maka ia berada di neraka jahanam dalam keadaan terjun, dan itu kekal selamanya. Barangsiapa yang bunuh diri dengan menenggak racun dan mati dalam keadaan racunnya ada di tangannya, maka ia akan menenggaknya di neraka jahanam selama-lamanya. Barangsiapa yang bunuh diri dengan besi, lalu besinya tersebut ada di tangannya, maka ia kan menusuk-nusuk perutnya dengan besi di neraka jahanam selama-lamanya.” (Hr. al-Bukhari, no. 5333)

Jenis kedua,
 membunuh orang lain.
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tegas melarang membunuh jiwa manusia dengan sengaja, dan mengancam pelakunya dengan ancaman yang berat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُّتَعَمِّداً فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً فِيهَا وَغَضِبَ اللّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَاباً عَظِيماً
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah jahanam. Ia kekal di dalamnya, Allah murka kepadanya, mengutuknya, serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Qs. an-Nisa`: 93)
Bentuk Pembunuhan yang Disengaja 
Pembunuhan dengan sengaja memiliki beragam bentuk yang ada dalam realita, di antaranya:
  1. Membunuh dengan senjata tajam (al-muhaddad), yaitu dengan cara melukai tubuh dengan senjata tajam, seperti pisau, senapan, tombak, lembing, dan jenis senjata tajam lainnya. Ini disepakati para ulama sebagai salah satu jenis pembunuhan dengan sengaja.
  2. Membunuh dengan senjata tumpul, atau senjata yang membunuh karena beratnya atau pengaruhnya di tubuh (al-mutsaqqal), seperti dengan cara memukulkan batu besar dan sejenisnya. Apabila batunya kecil, maka bukan termasuk pembunuhan dengan sengaja, kecuali bila dipukulkan kebagian anggota tubuh yang mematikan, atau dalam keadaan lemahnya korban seperti sakit, kecil, dan sejenisnya, atau memukulnya dengan berulang-ulang hingga mati. Termasuk juga pembunuhan dengan al-mutsaqqal adalah menimpakan tembok ke orang lain dan menabrakkan mobil ke tubuh korban.
  3. Melemparkan korban ke tempat berbahaya yang dapat membunuhnya, seperti melemparkannya ke dalam kandang singa atau dikurung bersama ular berbisa yang membunuhnya. Apabila sengaja melemparkannya ke tempat-tempat yang mematikan tersebut, maka ia telah sengaja membunuh korban dengan sesuatu yang umumnya bisa membunuh.
  4. Melempar korban ke dalam api atau air yang menenggelamkannya, dan si korban tidak mungkin selamat darinya.
  5. Mencekiknya dengan tali atau sejenisnya, atau membekap mulut dan hidungnya hingga mati dengan sebab itu.
  6. Memenjarakannya dan tidak memberi makan dan minum hingga si korban mati dengan sebab itu, dalam waktu yang umumnya orang akan mati kelaparan, serta si korban tidak bisa mencari makanan dan minuman.
  7. Membunuhnya dengan sihir (santet).
  8. Membunuhnya dengan racun. Ini memiliki beberapa bentuk, di antaranya:
    a. Memberi racun dengan paksa hingga mati.
    b. Mencampuri makanan dan minumannya dengan racun, lalu menyajikannya kepada korban, kemudian korban meminumnya dalam keadaan tidak tahu bahwa di dalamnya terkandung racun.
  9. Membunuh korban secara tidak langsung. Hal ini dapat digambarkan dalam beberapa bentuk:
  10. a. Memberikan kesaksian yang membuat korban dibunuh, seperti berzina atau murtad, lalu korban itu dibunuh. Setelah terbunuh, saksi tersebut menarik kembali persaksiannya dan mengatakan bahwa ia sengaja melakukan persaksian dusta tersebut untuk membunuh korban.
    b. Memaksanya untuk bunuh diri.
    c. Menyuruh orang lain untuk membunuhnya.
Demikianlah beberapa jenis bentuk pembunuhan dengan sengaja yang disampaikan para ulama dari hasil penelitian mereka.

Akibat Pembunuhan Dengan Sengaja
Pembunuhan dengan sengaja memiliki konsekuensi yang melibatkan tiga hak: hak Allah, hak wali korban, dan hak korban sendiri. Imam Ibnu al-Qayyim menjelaskan, “Yang benar adalah bahwa pembunuhan berhubungan dengan tiga hak: hal Allah, hak korban (al-maqtul), dan hak keluarga dan kerabat korban (auliya` al-maqtul). Apabila pembunuh telah menyerahkan diri dengan suka rela, dengan menyesalinya dan takut kepada Allah, serta bertobat dengan tobat nashuha, maka gugurlah hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tobat tersebut, dan hak auliya` a1-maqtul gugur dengan ditunaikannya qisas secara sempurna, melalui perdamaian, atau pembunuh dimaafkan. Namun, masih tersisa hak korban. Karenanya, Allah yang akan menggantinya di hari kiamat dari hamba-Nya yang bertobat dan Allah akan memperbaiki hubungan keduanya.” 
Hal-hak tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, hak Allah. Pembunuhan dengan sengaja berhubungan langsung dengan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena telah melanggar larangan Allah yang ada dalam firman-Nya,
وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُّتَعَمِّداً فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً فِيهَا وَغَضِبَ اللّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَاباً عَظِيماً
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah jahanam. Ia kekal di dalamnya, Allah murka kepadanya, mengutukinya, serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Qa. an-Nisa`: 93)
Dalam ayat yang mulia ini, Allah mengancam keras pelaku pembunuhan dengan sengaja, sampai-sampai karena besarnya dosa pembunuhan ini, Allah tidak mensyariatkan adanya kafarat.
Sedangkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan besarnya dosa pembunuhan ini dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ قَتْلِ مُسْلِمٍ
“Lenyapnya dunia lebih ringan bagi Allah dibandingkan pembunuhan terhadap seorang muslim.” (Hr. at-Tirmidzi dan an-Nasa`i; dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib no. 2438).
Larangan ini tidak hanya berlaku pada jiwa muslim, namun juga pada semua jiwa yang dilindungi dalam syariat Islam, sebagaimana dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
من قتل معاهداً لم يرح رائحة الجنة وإن ريحها ليوجد من مسيرة أربعين عاماً
“Barangsiapa yang membunuh orang kafir yang memiliki perjanjian perlindungan (mu’ahad), maka dia tidak akan mencium wangi surga. Sungguh, wangi surga itu tercium sejauh jarak empat puluh tahun.” (Hr. al-Bukhari)
Bahkan, perkara ini menjadi perkara awal yang dihisab di antara manusia di hari kiamat, seperti dijelaskan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أول ما يقضى بين الناس يوم القيامة في الدماء
”Perkara pertama yang akan diperhitungkan di antara manusia pada hari kiamat adalah permasalahan darah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Bahkan, Allah menjadikan pembunuhan satu jiwa bagaikan membunuh seluruh manusia, dan menghidupkan satu jiwa bagaikan menghidupkan seluruh manusia, seperti dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَن قَتَلَ نَفْساً بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعاً
“Oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia, seluruhnya. Juga, barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia, seluruhnya.” (Qs. al-Ma`idah: 32)
Hak ini tidak gugur kecuali dengan tobat yang benar dari pembunuh, dan tidak cukup hanya dengan menyerahkan diri kepada wali korban.
Kedua, hak korban. Hak ini tidak gugur, karena korban telah mati dan hilang, dan pembunuh telah dihukum. Korban akan meminta haknya di hari kiamat nanti dari pembunuhnya. Namun, apakah kebaikan pembunuh akan diambil (di akhirat), atau Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan keutamaan dan kemurahan-Nya yang akan menanggungnya? Yang benar, sebagaimana dirajihkan oleh Imam Ibnu al-Qayyim dan Ibnu Utsaimin [9], adalah Allah yang akan menggantinya di hari kiamat dari hamba-Nya yang bertobat, dan Allah akan memperbaiki hubungan keduanya .
Ketiga, hak wali korban. Keluarga korban yang mencakup seluruh ahli warisnya memiliki hak atas pelaku pembunuhan, dengan diminta memilih tiga pilihan:
Pilihan pertama, qisas, yaitu dengan dilakukannya hukuman pancung kepada pelaku pembunuhan, yang hukuman ini dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini berdasarkan pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu untuk melaksanakan qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh….” (Qs. al-Baqarah: 178)
Dianjurkan bagi para ahli waris korban untuk mengampuni pelaku dari qisas, apabila pelaku tidak dikenal sebagai orang jelek, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاء إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ
“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf, dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabbmu, dan merupakan suatu rahmat.” (Qs. al-Baqarah: 178)
Apabila seluruh ahli waris atau seseorang dari mereka memaafkan si pembunuh qisas maka gugurlah qisas bagi si pembunuh, dan si pembunuh wajib menunaikan pilihan kedua, yaitu diyat.
Pilihan kedua, membayar diyat, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَمَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ يُفْدَى وَإِمَّا أَنْ يُقْتَلَ
“Barangsiapa yang menjadi wali korban pembunuhan, maka ia diberi dua pilihan: memilih diyat atau qisas.” (Hr. Muslim, no. 3371)
Pilihan ketiga, memberikan ampunan tanpa bayaran. Para ahli waris korban memiliki hak untuk mengampuni pelaku dengan tidak meminta qisas maupun diyat. Apabila sebagian ahli waris memberikan ampunan ini, maka gugurlah bagiannya dari diyat dan pelaku hanya membayar bagian diyat untuk ahli waris korban yang tidak memaafkannya. Hal ini didasarkan pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
فَمَن تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهُ
“Barangsiapa yang melepaskan (hak qisas)-nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya.” (Qs. al-Ma`idah: 45)

B. Pembunuhan Mirip Sengaja

Pada edisi terdahulu, telah dijelaskan dua jenis pembunuhan: disengaja dan tidak disengaja. Ada jenis ketiga yang memiliki kemiripan dengan pembunuhan disengaja dan yang tidak sengaja. Jenis ini dinamakan para ulama syariat dengan qatlu syibhi al-amd (pembunuhan mirip disengaja).
Definisi Qatlu Syibhi al-’Amd (Pembunuhan Mirip Sengaja)
Para ahli fikih mendefinisikan pembunuhan mirip disengaja ini dengan kesengajaan berbuat kejahatan kepada korban dengan cara atau alat yang umumnya tidak membunuh.
Dengan demikian, yang dimaksud syibhu al-amd (pembunuhan yang mirip sengaja) ialah seorang mukalaf bermaksud membunuh orang yang terlindungi darahnya dengan cara dan alat yang biasanya tidak membunuh. Hal ini bisa jadi karena bermaksud mencelakakannya atau bermaksud menghajarnya, seperti memukul dengan cambuk, tongkat, batu kecil, atau dengan tangan, dan dengan seluruh cara atau alat yang tidak membunuh secara umumnya.
Jenis ini, dalam bahasa Arab, disebut juga amdul khatha dan khatha’ al-’amd, karena bersatunya kesengajaan dan ketidaksengajaan padanya.
Contoh Pembunuhan Mirip Sengaja
Di antara contoh pembunuhan mirip sengaja ini adalah seorang memukul orang lain di bagian yang tidak mematikan, dengan menggunakan cambuk atau tongkat, atau menonjok dan meninju dengan tangannya, di daerah yang tidak mematikan. Lalu, ternyata orang yang dipukul tersebut mati.
Dasar Penetapan Jenis Ini
Jenis ini diambil dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya adalah hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ketahuilah bahwa diyat pembunuhan yang mirip dengan sengaja –yang dilakukan dengan cambuk dan tongkat– adalah seratus ekor unta. Di antaranya empat puluh ekor yang sedang hamil.” 
Kemiripan Dengan Dua Jenis Pembunuhan yang Terdahulu
Dari definisi di atas, jelaslah bahwa pembunuhan yang mirip dengan sengaja (syibhu al-amd) ini tidak termasuk disengaja dan tidak juga karena keliru (al-khatha), tetapi pertengahan di antara keduanya. Seandainya kita melihat kepada niat kesengajaan untuk membunuhnya, maka ia termasuk dalam pembunuhan yang disengaja. Namun, bila kita melihat jenis perbuatannya yang tidak membunuh, maka kita memasukkannya ke dalam jenis pembunuhan karena keliru (al-khatha). Oleh karenanya, para ulama memasukkannya kedalam satu tingkatan di antara keduanya dan menamakannyasyibhu al-amdi
Sehingga jenis ini memiliki kemiripan dengan dua jenis pembunuhan lainnya dari satu sisi dan berbeda dari sisi lainnya.
Kesamaan dan Perbedaan dengan pembunuhan dengan sengaja
Pembunuhan mirip sengaja memiliki persamaan dengan pembunuhan yang disengaja dari sisi proses pembunuhannya, yaitu keinginan untuk mencelakakan korban. Adapun perbedaannya terletak pada:
  1. Jenis tujuan mencelakakan korban. Dalam pembunuhan sengaja, pembunuh sengaja bermaksud membunuhnya, sedangkan dalam pembunuhan mirip sengaja ini pembunuh hanya sengaja mencelakakannya saja tanpa ada niat untuk membunuhnya.
  2. Alat yang digunakan dalam pembunuhan sengaja umumnya adalah senjata yang membunuh, sedangkan dalam pembunuhan mirip sengaja senjata yang digunakan umumnya tidak membunuh.
Dari sini jelaslah garis pemisah yang sangat jelas antara keduanya adalah penggunaan senjata, karena niat dan kesengajaan merupakan perkara hati yang sulit diketahui dengan pasti.
Ibnu Rusyd rahimahullah dalam menjelaskan jenis pembunuhan mirip sengaja ini dengan menyatakan, “Barangsiapa yang bermaksud memukul seseorang dengan alat atau senjata yang tidak membunuh, maka hukumnya ada di antara pembunuhan di sengaja dan pembunuhan tidak sengaja. Karenanya, pembunuhan mirip sengaja ini serupa dengan pembunuhan sengaja dari sisi niat dan tujuan memukulnya, serta serupa dengan pembunuhan tidak sengaja dari sisi memukul si korban dengan sesuatu yang tidak membunuh.” 
Syekh Abdurrahman as-Sa’di menyatakan, “Kesamaan antara pembunuhan disengaja dengan mirip sengaja terletak pada keinginan untuk mencelakakan korban, dan pembunuhan disengaja dikhususkan (dari mirip sengaja) dengan adanya kesengajaan untuk mencelakkan korban dengan cara yang hampir dapat dipastikan bisa membunuh korban.” 
Kesamaan dan Perbedaannya dengan Pembunuhan Tidak Sengaja
Pembunuhan mirip sengaja memiliki persamaan dengan pembunuhan tidak sengaja dalam satu hal, yaitu keduanya tidak bermaksud membunuh korban, serta memiliki perbedaan dalam dua perkara:
  1. Pembunuhan mirip sengaja memiliki niat untuk mencelakakan korban, sedangkan pembunuhan tidak sengaja tidak demikian.
  2. Alat atau senjata yang digunakan dalam pembunuhan mirip sengaja tidak boleh yang bersifat membunuh. Adapun pembunuhan tidak sengaja bisa jadi menggunakan senjata yang membunuh, seperti senapan atau pistol, dan bisa juga yang tidak membunuh secara umumnya.
Hukumnya
Pembunuhan mirip sengaja ini diharamkan, karena termasuk sikap melampaui batas (aniaya) dan zalim, padahal Allah berfirman,
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangimu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Baqarah: 190)
Konsekuensi Hukum
Qisas tidak diberlakukan pada pembunuhan mirip sengaja ini. Akan tetapi, terdapat dua konsekuensi hukum yang wajib ditunaikan oleh pelakunya:
  1. Kewajiban membayar diyat yang berat. Ini termasuk hak keluarga ahli waris korban, dengan ukuran sama seperti diyat pembunuhan sengaja. Bedanya, diyat ditanggung oleh kerabat pembunuh dan dapat dicicil selama tiga tahun. Diyat ini diserahkan kepada ahli waris korban sesuai dengan bagiannya masing-masing. Apabila sebagian mereka memaafkan atau seluruhnya memaafkan, maka gugurlah kewajiban membayar diyat sesuai dengan kadar nilai diyat yang dimaafkan.
  2. Kewajiban membayar kafarat. Ini adalah hak Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tidak digugurkan dengan pengampunan ahli waris. Kafaratnya adalah dengan membebaskan budak muslim, dan bila tidak ada maka kafaranya adalah berpuasa dua bulan berturut-turut.
Dengan demikian, pembunuhan mirip sengaja ini memiliki konsekuensi hukum yang sama dengan pembunuhan tidak sengaja, dengan perbedaan dalam ukuran besarnya diyat.
Syekh Shalih bin Abdillah al-Fauzan hafizahullah menegaskan bahwa pada pembunuhan mirip sengaja, pembunuh diwajibkan membayar kafarat dari hartanya berupa pembebasan budak. Apabila ia tidak dapat membebaskan budak, maka kafaratnya adalah berpuasa dua bulan berturut-turut sebagaimana pada pembunuhan tidak disengaja. Diwajibkan pula atasnya untuk membayar diyat sebesar diyat pembunuhan disengaja, yang dibebankan kepada ‘aqilah (kerabatnya), berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi,
Dua orang wanita dari Suku Hudzail saling berperang, lalu salah seorang dari mereka melempar batu kepada yang satunya, kemudian membunuh wanita yang dilempari dan juga membunuh janin di kandungannya. Kemudian, kaum mereka memperadilkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan kewajiban membayar diyat (karena terbunuhnya) si janin berupa ghurrah budak laki-laki atau wanita, serta kewajiban membayar diyat karena terbunuhnya si korban wanita tersebut dibebankan kepada kerabat si wanita pembunuh. Kemudian, anak dan kerabat korban yang bersamanya mewarisi diyat tersebut.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Syekh Shalih bin Abdillah al-Fauzan hafizahullah menyatakan, “Hadits ini menunjukkan tidak adanya qisas dalam pembunuhan mirip sengaja, dan diyatnya ditanggung kerabat si pembunuh. Alasannya, karena itu adalah pembunuhan yang tidak menuntut adanya qisas, sehingga diyatnya ditanggung kerabatnya seperti pembunuhan tidak disengaja.” 
Ibnu al-Mundzir rahimahullah menyatakan, “Para ulama yang kami hapal telah berijma’ bahwa diyat ditanggung oleh kerabat si pembunuh.”  Hal ini ditegaskan kembali oleh Ibnu Qudamah rahimahullah dalam pernyataan beliau, “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa diyat ditanggung oleh kerabat si pembunuh.” 
Demikianlah hukum dan konsekuensi yang ada pada pembunuhan mirip sengaja. Hukum dan konsekuensi tersebut mirip dengan yang berlaku pada pembunuhan tidak disengaja. Oleh karena itu, Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan, “Pembunuhan tidak sengaja memiliki persamaan dan perbedaan dengan pembunuhan mirip sengaja, dalam beberapa perkara:
  1. Tidak adanya qishas pada keduanya.
  2. Diberlakukannya diyat pada keduanya.
  3. Diyat menjadi tanggungan kerabat si pembunuh (al-aqilah).
Adapun kedua jenis pembunuhan tersebut, berbeda dalam perkara berikut:
  1. Pembunuhan mirip sengaja (syibhu al-amd) bermaksud mencelakai, sedangkan pembunuhan tidak sengaja (al-khatha) tidak bermaksud membunuh sama sekali.
  2. Diyat dalam pembunuhan mirip sengaja (syibhu al-amd) tergolong berat (mughallazhah), sedangkan dalam pembunuhan tidak disengaja (al-khatha) diyatnya diperingan.
  3. Dalam Pembunuhan mirip sengaja (syibhu al-amd) ada beban dosa, sedangkan dalam pembunuhan tidak disengaja (al-khatha) tidak ada beban dosa.” 
Penutup
Dari keterangan di atas, jelaslah persamaan dan perbedaan antara pembunuhan mirip sengaja dengan pembunuhan yang disengaja. Berikut ini adalah perbandingan kesamaan dan perbedaan antara berbagai jenis pembunuhan.
Kesamaan antara pembunuhan yang disengaja dengan pembunuhan mirip sengaja:
  1. Adanya keinginan mencelakakan korban.
  2. Diyatnya berat.
Perbedaan antara pembunuhan yang disengaja dengan pembunuhan mirip sengaja:
Pembunuhan yang disengaja:
  1. Pembunuh sengaja membunuh.
  2. Alat yang digunakan membunuh adalah senjata pembunuh.
  3. Diberlakukan qishas.
  4. Diyat ditanggung oleh si pembunuh.
  5. Diyat dibayar kontan.
  6. Tidak ada kafarat.
Pembunuhan mirip sengaja:
  1. Pembunuh sengaja mencelakai tanpa bermaksud membunuh.
  2. Alat yang digunakan bukanlah senjata pembunuh.
  3. Tidak diberlakukan qishas.
  4. Diyat ditanggung oleh kerabat si pembunuh.
  5. Diyat dapat dibayar dalam tempo tiga tahun.
  6. Ada kafarat.
Demikian juga, terdapat kesamaan dan perbedaan antara pembunuhan mirip sengaja dengan pembunuhan yang tidak disengaja.
Kesamaan antara pembunuhan mirip sengaja dengan pembunuhan yan tidak disengaja:
  1. Tidak bermaksud membunuh.
  2. Diyat ditanggung oleh kerabat si pembunuh.
  3. Diyat dibayar secara bertempo.
  4. Diwajibkan kafarat.
  5. Tidak diberlakukan qishas.
Perbedaan antara pembunuhan mirip sengaja dengan pembunuhan yang tidak disengaja:
Pembunuhan mirip sengaja:
  1. Pembunuh bermaksud mencelakakan korban.
  2. Alat yang digunakan bukan senjata pembunuh.
  3. Diyatnya diperberat.
Pembunuhan yang tidak disengaja:
  1. Pembunuh tidak ada maksud mencelakakan korban.
  2. Alat yang digunakan bisa jadi berupa senjata pembunuh dan bisa jadi tidak demikian.
  3. Diyatnya diperingan.

C. Pembunuhan Tidak Disengaja

Telah berlalu pembahasan tentang masalah pembunuhan yang disengaja. Berikut ini pembahasan tentang pembunuhan jenis kedua, yaitu pembunuhan karena keliru atau tidak sengaja.
Definisi Pembunuhan karena Keliru
Pembunuhan karena keliru, dalam bahsa Arabnya adalah “qatlu al-khatha’” (قتل الخطاء). Kata “khatha’” dalam bahasa Arab pada konteks ini bermakna “lawan dari kesengajaan” (al-’amad), sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَن يَقْتُلَ مُؤْمِناً إِلاَّ خَطَئاً
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja).” (Qs. an-Nisa`: 92)
Kemudian Allah berfirman pada ayat setelahnya,
وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُّتَعَمِّداً فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً فِيهَا وَغَضِبَ اللّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَاباً عَظِيماً
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah jahannam, ia kekal di dalamnya, dan Allah murka kepadanya, mengutuknya, serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Qs. an-Nisa`: 93)
Adapun yang dimaksud dengan pembunuh karena keliru, menurut ulama fikih, ialah seorang mukalaf melakukan perbuatan yang mubah boleh) baginya, seperti memanah binatang buruan atau satu target tertentu, ternyata secara tidak sengaja anak panahnya mengenai orang yang haram dibunuh hingga orang tersebut akhirnya meninggal dunia. Atau pembunuhan karena keliru tersebut berupa membunuh seorang muslim di barisan orang-orang kafir yang diduga sebagai orang kafir.
Jenis Pembunuhan karena Keliru
Berdasarkan definisi di atas, para ahli fikih membagi pembunuhan karena keliru (tidak sengaja) ini menjadi dua: kekeliruan dalam perbuatan dan kekeliruan dalam niat kesengajaan.
Yang pertama, seseorang sengaja menembak hewan buruan yang diperbolehkan untuk dibunuh dan dia telah menempatkan senjatanya tepat pada sasarannya, namun ternyata meleset membunuh orang.
Yang kedua, salah karena tidak tahu, seperti membunuh orang yang diyakini boleh dibunuh (orang kafir) namun ternyata orang yang terbunuh tersebut termasuk orang yang terlarang untuk dibunuh. Contohnya, membunuh seseorang di barisan kaum kafir, kemudian ternyata yang terbunuh itu adalah seorang muslim.
Kemudian, para ulama mamasukkan beberapa bentuk pembunuhan yang dianggap sama dengan pembunuhan tanpa sengaja (al-qatlu alladzi yajri majra al-khatha`). Dinamakan demikian karena pembunuhan ini terjadi tanpa ada niat membunuh dan tidak juga mengarah kepada orang tertentu.
Hal ini terjadi dengan si pembunuh sebagai pelaku langsung atau tidak langsung. Contoh sebagai pelaku langsung adalah orang yang tidur menindih bayi yang ada di sampingnya hingga membunuhnya. Bisa juga sebagai pelaku tidak langsung yang menjadi penyebab terbunuhnya seseorang. Contohnya, seseorang menggali lubang besar atau sumur di satu tempat, lalu ada orang yang masuk dan meninggal dunia dengan sebabnya. Contoh lain, membiarkan satu tembok yang sudah miring tanpa diperbaiki lalu tembok itu akhirnya menimpa seseorang hingga mati.
Di sini dapat disimpulkan bahwa pembunuhan karena keliru (qatlu al-khatha`) dapat dibagi dalam beberapa tinjauan. Dilihat dari faktor kesengajaan, maka ada yang murni karena keliru dan tidak sengaja, serta yang dianggap seperti itu. Dilihat dari perannya, maka ada yang langsung (membunuh secara langsung, ed) dan ada yang menjadi penyebab kematiannya.
Dalil Ketetapannya
Pembunuhan karena keliru ditetapkan berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah, serta ijma’ kaum muslimin.
Allah berfirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَن يَقْتُلَ مُؤْمِناً إِلاَّ خَطَئاً وَمَن قَتَلَ مُؤْمِناً خَطَئاً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلاَّ أَن يَصَّدَّقُواْ فَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مْؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِّيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةً فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِّنَ اللّهِ وَكَانَ اللّهُ عَلِيماً حَكِيماً
“Dan tidaklah layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah, (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) berasal dari kaum yang memusuhimu padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) berasal dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka denganmu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh), serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara bertaubat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. an-Nisa`: 92)
Sedangkan dalil dari as-Sunnah adalah hadits yang diriwayatkan dari Muhammad bin Labid radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
اخْتَلَفَتْ سُيُوفُ الْمُسْلِمِينَ عَلَى الْيَمَانِ أَبِي حُذَيْفَةَ يَوْمَ أُحُدٍ وَلَا يَعْرِفُونَهُ فَقَتَلُوهُ فَأَرَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَدِيَهُ فَتَصَدَّقَ حُذَيْفَةُ بِدِيَتِهِ عَلَى الْمُسْلِمِينَ
“Pedang-pedang kaum muslimin salah membunuh al-Yaman, bapaknya Hudzaifah, di Perang Uhud. Mereka tidak mengenalnya, lalu mereka membunuh al-Yaman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin membayar diyat, namun Hudzaifah menyedekahkan diyat yang diperolehnya tersebut kepada kaum muslimin.” (Hr. Ahmad)
Selain kedua dalil tersebut, umat Islam pun sepakat menetapkan adanya pembunuhan karena keliru ini.
Hukuman bagi Pelakunya
Pembunuhan karena keliru (qatlu al-khatha`) memiliki konsekuensi hukum bagi pelakunya berupa membayar diyat dan menebus kafarat, namun tidak ada qisas di dalamnya, menurut kesepakatan ulama fikih.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, “Pembunuhan karena keliru dan yang dihukumi dengannya, seperti menembak buruan atau target tertentu lalu mengenai manusia tanpa sepengetahuan dan kesengajaan, tidak memberi konsekuensi adanya qisas (bagi si pelaku), dan yang ada hanyalah diyat dan kafarah.”
Beliau juga menyatakan, “Pelaku diwajibkan membayar diyat dengan nash al-Quran dan kesepakatan umat Islam. Diyat ini wajib untuk muslim dan orang kafir yang berada dalam perlindungan kaum muslimin (kafir mu`ahad). Hal ini juga menjadi pendapat salaf serta para imam agama, dan tidak ada khilaf tentang hal ini.”
Kewajiban membayar diyat dan kafarat ini berlaku bila orang yang terbunuh adalah muslim atau kafir mu`ahad (yang mendapatkan perlindungan kaum muslimin). Jika yang terbunuh adalah seorang muslim yang berada di barisan kaum kafir, lalu dia terbunuh karena diduga orang kafir, maka pelaku pembunuhan tersebut hanya diwajibkan membayar kafarat saja, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَن يَقْتُلَ مُؤْمِناً إِلاَّ خَطَئاً وَمَن قَتَلَ مُؤْمِناً خَطَئاً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلاَّ أَن يَصَّدَّقُواْ فَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مْؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِّيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةً فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِّنَ اللّهِ وَكَانَ اللّهُ عَلِيماً حَكِيماً
“Dan tidaklah layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah, (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) berasal dari kaum yang memusuhimu padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) berasal dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka denganmu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh), serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara bertaubat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. an-Nisa`: 92)
Dalam ayat yang mulia ini, Allah menjadikan pembunuhan tidak sengaja terbagi dalam dua klasifikasi.
Pertama, yang berkonsekuensi adanya kewajiban kafarat kepada pelaku pembunuhan dan membayar diyat kepada keluarga besarnya (al-’aqilah). Ini berlaku bagi pembunuhan tidak sengaja terhadap mukmin di luar barisan orang kafir, atau apabila korban adalah orang yang mendapatkan perlindungan kaum muslimin.
Kedua, yang berkonsekuensi adanya kewajiban membayar kafarat saja, dan ini untuk pembunuhan terhadap mukmin yang tinggal di antara orang-orang kafir yang dianggap sebagai orang kafir oleh pembunuhnya.
Imam asy-Syaukani dalam kitab Fathu al-Qadir menjelaskan bahwa ayat ini menyangkut masalah seseorang yang dibunuh oleh kaum muslimin di negeri kafir dan ia tinggal di sana. Kemudian, orang tersebut masuk Islam namun belum berhijrah. Kaum muslimin menganggapnya masih kafir (belum masuk Islam) dan masih berada di atas agama kaumnya. Oleh karena itu, tidak ada kewajiban membayar diyat bagi pembunuhnya dan dia hanya wajib menunaikan kafarat.
Siapa yang Menanggung Pembayaran Diyat?
Diyat pembunuhan karena keliru ini ditanggung oleh kerabat si pembunuh (al-’aqilah). Dasarnya adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi,
قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَنِينِ امْرَأَةٍ مِنْ بَنِي لَحْيَانَ سَقَطَ مَيِّتًا بِغُرَّةٍ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ ثُمَّ إِنَّ الْمَرْأَةَ الَّتِي قَضَى لَهَا بِالْغُرَّةِ تُوُفِّيَتْ فَقَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأَنَّ مِيرَاثَهَا لِبَنِيهَا وَزَوْجِهَا وَأَنَّ الْعَقْلَ عَلَى عَصَبَتِهَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan perkara janin seorang wanita dari Bani Lahyan yang mati keguguran dengan (adanya kewaiban bagi si pembunuh berupa) membayar ghurrah budak lelaki atau budak wanita. Kemudian, sang wanita yang dimenangkan perkaranya tersebut pun (akhirnya) juga meninggal. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan warisannya untuk anak-anak dan suaminya, sedangkan yang menanggung diyatnya adalah kerabatnya. Demikian juga, hal ini sudah menjadi ijma’ umat ini.”
Kafaratnya
Telah dijelaskan bahwa pelaku pembunuhan tidak sengaja (karena keliru) menanggung kafarat berupa pembebasan budak muslim. Apabila ia tidak mendapatkannya, maka kewajibannya adalah berpuasa dua bulan berturut-turut. Hal inilah yang dijelaskan dalam firman Allah,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَن يَقْتُلَ مُؤْمِناً إِلاَّ خَطَئاً وَمَن قَتَلَ مُؤْمِناً خَطَئاً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلاَّ أَن يَصَّدَّقُواْ فَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مْؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِّيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةً فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِّنَ اللّهِ وَكَانَ اللّهُ عَلِيماً حَكِيماً
“Dan tidaklah layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah, (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) berasal dari kaum yang memusuhimu padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) berasal dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka denganmu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh), serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara bertaubat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. an-Nisa`: 92)
Kewajiban kafarat ini berlaku untuk semua pelaku pembunuhan tidak sengaja, karena adanya keumuman ayat ini.
Imam Ibnu Qudamah dan yang lainnya menyampaikan bahwa pembunuhan tidak sengaja ini tidak disebutkan dengan pengharaman dan juga tidak dengan pembolehan, karena pembunuhan jenis ini seperti pembunuhan yang dilakukan orang gila. Namun, jiwa yang lenyap tetap dijaga dan disucikan. Oleh karena itu, dalam hal ini diwajibkan adanya kafarat.
Prof. Dr. Syekh Shalih bin Abdillah al-Fauzan menyatakan, “Hikmah dari pensyariatan kafarat dalam pembunuhan tidak sengaja kembali kepada dua perkara: kesalahan tersebut tidak lepas dari kecerobohan pelaku dan melihat pada kesucian jiwa yang hilang.”
Kafarat ini diwajibkan sebanyak satu kali bagi satu peristiwa, dan bila membunuhnya si korban secara berulang-ulang maka kafaratnya juga berulang. Oleh karenanya, bila seseorang membunuh beberapa orang dengan tidak sengaja, maka ia pun harus membayar beberapa kafarat sesuai dengan jumlah korban yang terbunuh.
Referensi:
  1. Muhammad bin Shalih Ibnu Utsaimin, asy-Syarhu al-Mumti’ ‘ala Zad al-Mustaqni’, cetakan pertama, tahun 1428 H, Dar Ibnu al-Jauzi, KSA, 14/5.
  2. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Tashil al-Ilmam bi Fiqhi al-Ahadits min Bulugh al-Maram, cetakan pertama, tahun 1427 H, tanpa penerbit, 5/117.
  3. Al-Mulakhash al-Fiqh, Shalih bin Fauzan al-Fauzan, cetakan pertama, tahun 1423 H, Ri’asah Idarah al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta’, KSA, 2/461.
  4. Al-Irsyad ila Ma’rifat al-Ahkam, Syekh Abdurrahman as-Sa’di dalam al-Majmu’at al-Kamilah li Mu’allafat asy-Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di.
  5. Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab.
  6. Lain-lain.

3 komentar: