Shalat
Idain Itu ialah shalat Idul Fithri dan Shalat Idul Adha. Biasanya orang
menyebutnya dengan shalat Ied gitu saja jadi Ied itu bias Idul Fithri dan bias idul
Adha, saya insya Allah akan menjelaskan semuanya berdasarkan dari beberapa
penjelasan ulama. Semoga bermanfaat.
Hukum
Shalat Idain (Idul Fithri dan Idul Adha)
Menurut
pendapat yang lebih kuat, hukum shalat Ied adalah wajib bagi setiap muslim,
baik laki-laki maupun perempuan yang dalam keadaan mukim, Dalil dari hal ini
adalah hadits dari Ummu ‘Athiyah, beliau berkata,
أَمَرَنَا – تَعْنِى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- – أَنْ
نُخْرِجَ فِى الْعِيدَيْنِ الْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ وَأَمَرَ الْحُيَّضَ
أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan kepada kami pada saat shalat ‘ied (Idul Fithri ataupun Idul Adha)
agar mengeluarkan para gadis (yang baru beanjak dewasa) dan wanita yang
dipingit, begitu pula wanita yang sedang haidh. Namun beliau memerintahkan pada
wanita yang sedang haidh untuk menjauhi tempat shalat.”
Di
antara alasan wajibnya shalat ‘ied dikemukakan oleh Shidiq Hasan Khon (murid
Asy Syaukani).
Pertama:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus melakukannya.
Kedua:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah kaum muslimin untuk
keluar rumah untuk menunaikan shalat ‘ied. Perintah untuk keluar rumah
menunjukkan perintah untuk melaksanakan shalat ‘ied itu sendiri bagi orang yang
tidak punya udzur. Di sini dikatakan wajib karena keluar rumah merupakan wasilah
(jalan) menuju shalat. Jika wasilahnya saja diwajibkan, maka tujuannya (yaitu
shalat) otomatis juga wajib.
Ketiga:
Ada perintah dalam Al Qur’an yang menunjukkan wajibnya shalat ‘ied yaitu firman
Allah Ta’ala,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Dirikanlah shalat dan berqurbanlah
(an nahr).” (QS. Al Kautsar: 2). Maksud ayat ini adalah perintah
untuk melaksanakan shalat ‘ied.
Keempat:
Shalat jum’at menjadi gugur bagi orang yang telah melaksanakan shalat ‘ied jika
kedua shalat tersebut bertemu pada hari ‘ied. Padahal sesuatu yang wajib hanya
boleh digugurkan dengan yang wajib pula. Jika shalat jum’at itu wajib, demikian
halnya dengan shalat ‘ied. –Demikian penjelasan Shidiq Hasan Khon yang kami
sarikan-.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Pendapat yang
menyatakan bahwa hukum shalat ‘ied adalah wajib bagi setiap muslim lebih kuat
daripada yang menyatakan bahwa hukumnya adalah fardhu kifayah (wajib bagi
sebagian orang saja). Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hukum shalat ‘ied
adalah sunnah (dianjurkan, bukan wajib), ini adalah pendapat yang lemah. Karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan untuk melakukan
shalat ini. Lalu beliau sendiri dan para khulafaur rosyidin (Abu Bakr, ‘Umar,
‘Utsman, dan ‘Ali, -pen), begitu pula kaum muslimin setelah mereka terus
menerus melakukan shalat ‘ied. Dan tidak dikenal sama sekali kalau ada di satu
negeri Islam ada yang meninggalkan shalat ‘ied. Shalat ‘ied adalah salah satu
syi’ar Islam yang terbesar. … Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberi keringanan bagi
wanita untuk meninggalkan shalat ‘ied, lantas bagaimana lagi dengan kaum pria?”
Waktu
Pelaksanaan Shalat Idain
Menurut
mayoritas ulama –ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hambali-, waktu shalat ‘ied
dimulai dari matahari setinggi tombak sampai
waktu zawal (matahari
bergeser ke barat).
Ibnul
Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasa mengakhirkan
shalat ‘Idul Fitri dan mempercepat pelaksanaan shalat ‘Idul Adha. Ibnu
‘Umar yang sangat dikenal mencontoh ajaran Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah keluar menuju lapangan
kecuali hingga matahari meninggi.”
Tujuan
mengapa shalat ‘Idul Adha dikerjakan lebih awal adalah agar orang-orang dapat
segera menyembelih qurbannya. Sedangkan shalat ‘Idul Fitri agak diundur bertujuan
agar kaum muslimin masih punya kesempatan untuk menunaikan zakat fithri.
Tempat
Pelaksanaan Shalat ‘Ied
Tempat pelaksanaan
shalat ‘ied lebih utama (lebih afdhol) dilakukan di tanah lapang, kecuali jika
ada udzur seperti hujan. Abu Sa’id Al Khudri mengatakan,
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى
إِلَى الْمُصَلَّى
“Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa
sallam biasa keluar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha menuju tanah
lapang.”
An
Nawawi mengatakan, “Hadits Abu Sa’id Al Khudri di atas adalah dalil bagi orang
yang menganjurkan bahwa shalat ‘ied sebaiknya dilakukan di tanah lapang dan ini
lebih afdhol (lebih utama) daripada melakukannya di masjid. Inilah yang
dipraktekkan oleh kaum muslimin di berbagai negeri. Adapun penduduk Makkah,
maka sejak masa silam shalat ‘ied mereka selalu dilakukan di Masjidil Haram.”
Tuntunan
Ketika Hendak Keluar Melaksanakan Shalat ‘Idain
Pertama:
Dianjurkan untuk mandi sebelum berangkat shalat. Ibnul Qayyim mengatakan,
“Terdapat riwayat yang shahih yang menceritakan bahwa Ibnu ‘Umar yang dikenal
sangat mencontoh ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mandi pada hari ‘ied sebelum
berangkat shalat.”
Kedua:
Berhias diri dan memakai pakaian yang terbaik. Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa
keluar ketika shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha dengan pakaiannya yang
terbaik.”
Ketiga:
Makan sebelum keluar menuju shalat ‘ied khusus untuk shalat ‘Idul Fithri.
Dari ‘Abdullah bin
Buraidah, dari ayahnya, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَغْدُو يَوْمَ
الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ وَلاَ يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ
فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa
berangkat shalat ‘ied pada hari Idul Fithri dan beliau makan terlebih dahulu.
Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak makan lebih dulu kecuali setelah
pulang dari shalat ‘ied baru beliau menyantap hasil qurbannya.”
Hikmah
dianjurkan makan sebelum berangkat shalat Idul Fithri adalah agar tidak disangka
bahwa hari tersebut masih hari berpuasa. Sedangkan untuk shalat Idul Adha
dianjurkan untuk tidak makan terlebih dahulu adalah agar daging qurban bisa
segera disembelih dan dinikmati setelah shalat ‘ied.
Keempat:
Bertakbir ketika keluar hendak shalat ‘ied. Dalam suatu riwayat disebutkan,
كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ
الفِطْرِ فَيُكَبِّر حَتَّى يَأْتِيَ المُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ
فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ ؛ قَطَعَ التَّكْبِيْر
“Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa
keluar hendak shalat pada hari raya ‘Idul Fithri, lantas beliau bertakbir
sampai di lapangan dan sampai shalat hendak dilaksanakan. Ketika shalat hendak
dilaksanakan, beliau berhenti dari bertakbir.”
Dari
Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berangkat shalat ‘ied
(Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Al Fadhl bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin’Abbas,
‘Ali, Ja’far, Al Hasan, Al Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, dan
Ayman bin Ummi Ayman, mereka mengangkat suara membaca tahlil (laa ilaha
illallah) dan takbir (Allahu Akbar).”
Tata
cara takbir ketika berangkat shalat ‘ied ke lapangan:
[1]
Disyari’atkan dilakukan oleh setiap orang dengan menjahrkan (mengeraskan)
bacaan takbir. Ini berdasarkan kesepakatan empat ulama madzhab.
[2] Di antara lafazh
takbir adalah,
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ
وَاَللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
“Allahu
akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illallah wallahu akbar, Allahu akbar wa
lillahil hamd (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang
berhak disembah dengan benar selain Allah, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar,
segala pujian hanya untuk-Nya)” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa
lafazh ini dinukil dari banyak sahabat, bahkan ada riwayat yang menyatakan
bahwa lafazh ini marfu’ yaitu sampai pada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Syaikhul
Islam juga menerangkan bahwa jika seseorang mengucapkan “Allahu Akbar, Allahu akbar, Allahu
akbar”, itu juga diperbolehkan.
Kelima:
Menyuruh wanita dan anak kecil untuk berangkat shalat ‘ied. Dalilnya
sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu ‘Athiyah yang pernah kami sebutkan.
Namun wanita tetap harus memperhatikan adab-adab ketika keluar rumah, yaitu
tidak berhias diri dan tidak memakai harum-haruman.
Sedangkan
dalil mengenai anak kecil, Ibnu ‘Abbas –yang ketika itu masih kecil- pernah
ditanya, “Apakah engkau pernah menghadiri shalat ‘ied bersama Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam?” Ia menjawab,
نَعَمْ ، وَلَوْلاَ مَكَانِى مِنَ
الصِّغَرِ مَا شَهِدْتُهُ
“Iya, aku menghadirinya. Seandainya
bukan karena kedudukanku yang termasuk sahabat-sahabat junior, tentu aku tidak
akan menghadirinya.”
Keenam:
Melewati jalan pergi dan pulang yang berbeda. Dari Jabir, beliau mengatakan,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا كَانَ يَوْمُ
عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika shalat ‘ied, beliau lewat jalan yang berbeda ketika berangkat dan
pulang.”
Ketujuh:
Dianjurkan berjalan kaki sampai ke tempat shalat dan tidak memakai kendaraan
kecuali jika ada hajat. Dari Ibnu ‘Umar, beliau mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَخْرُجُ إِلَى
الْعِيدِ مَاشِيًا وَيَرْجِعُ مَاشِيًا.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam biasa berangkat shalat ‘ied dengan berjalan kaki, begitu pula ketika
pulang dengan berjalan kaki.”
Tidak
Ada Shalat Sunnah Qobliyah ‘Ied dan Ba’diyah ‘Ied
Dari Ibnu ‘Abbas, ia
berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ يَوْمَ
أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ
بَعْدَهَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah keluar pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, lalu beliau
mengerjakan shalat ‘ied dua raka’at, namun beliau tidak mengerjakan shalat
qobliyah maupun ba’diyah ‘ied.”
Tidak
Ada Adzan dan Iqomah Ketika Shalat ‘Ied
Dari Jabir bin Samuroh,
ia berkata,
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ.
“Aku
pernah melaksanakan shalat ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bukan
hanya sekali atau dua kali, ketika itu tidak ada adzan maupun iqomah.”
Ibnul
Qayyim mengatakan, “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai ke tempat shalat, beliau pun
mengerjakan shalat ‘ied tanpa ada adzan dan iqomah. Juga ketika itu untuk
menyeru jama’ah tidak ada ucapan “Ash
Sholaatul Jaam’iah.” Yang termasuk ajaran Nabi adalah tidak
melakukan hal-hal semacam tadi.”
Tata
Cara Shalat ‘Ied
Jumlah
raka’at shalat Idul Fithri dan Idul Adha adalah dua raka’at. Adapun tata
caranya adalah sebagai berikut.
Pertama:
Memulai dengan takbiratul ihrom, sebagaimana shalat-shalat lainnya.
Kedua:
Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak tujuh kali takbir -selain
takbiratul ihrom- sebelum memulai membaca Al Fatihah. Boleh mengangkat tangan
ketika takbir-takbir tersebut sebagaimana yang dicontohkan oleh Ibnu ‘Umar.
Ibnul Qayyim mengatakan, “Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat meneladani Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa
mengangkat tangannya dalam setiap takbir.”
Ketiga:
Di antara takbir-takbir (takbir zawa-id) yang ada tadi tidak ada bacaan dzikir
tertentu. Namun ada sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud, ia mengatakan, “Di antara
tiap takbir, hendaklah menyanjung dan memuji Allah.”
Syaikhul Islam mengatakan bahwa
sebagian salaf di antara tiap takbir membaca bacaan,
سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إلَهَ إلَّا
اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ . اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي
“Subhanallah wal hamdulillah
wa laa ilaha illallah wallahu akbar. Allahummaghfirlii war hamnii (Maha suci Allah, segala pujian
bagi-Nya, tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah selain Allah. Ya
Allah, ampunilah aku dan rahmatilah aku).” Namun ingat sekali lagi, bacaannya
tidak dibatasi dengan bacaan ini saja. Boleh juga membaca bacaan lainnya
asalkan di dalamnya berisi pujian pada Allah Ta’ala.
Keempat:
Kemudian membaca Al Fatihah, dilanjutkan dengan membaca surat lainnya. Surat
yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah surat Qaaf pada raka’at pertama
dan surat Al Qomar pada raka’at kedua. Ada riwayat bahwa ‘Umar bin Al Khattab
pernah menanyakan pada Waqid Al Laitsiy mengenai surat apa yang dibaca oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat ‘Idul Adha dan
‘Idul Fithri. Ia pun menjawab,
كَانَ يَقْرَأُ فِيهِمَا بِ (ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ) وَ
(اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ)
“Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa
membaca “Qaaf, wal
qur’anil majiid” (surat Qaaf) dan “Iqtarobatis saa’atu wan syaqqol qomar”
(surat Al Qomar).”
Boleh
juga membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada
raka’at kedua. Dan jika hari ‘ied jatuh pada hari Jum’at, dianjurkan pula
membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at
kedua, pada shalat ‘ied maupun shalat Jum’at. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى
الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ
أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ
فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa
membaca dalam shalat ‘ied maupun shalat Jum’at “Sabbihisma robbikal a’la” (surat Al A’laa) dan “Hal ataka haditsul ghosiyah” (surat Al Ghosiyah).” An Nu’man
bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari
Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.
Kelima: Setelah membaca
surat, kemudian melakukan gerakan shalat seperti biasa (ruku, i’tidal, sujud,
dst).
Keenam:
Bertakbir ketika bangkit untuk mengerjakan raka’at kedua.
Ketujuh:
Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak lima kali takbir -selain
takbir bangkit dari sujud- sebelum memulai membaca Al Fatihah.
Kedelapan:
Kemudian membaca surat Al Fatihah dan surat lainnya sebagaimana yang telah
disebutkan di atas.
Kesembilan:
Mengerjakan gerakan lainnya hingga salam.
Khutbah
Setelah Shalat ‘Ied
Dari Ibnu ‘Umar, ia
mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَأَبُو بَكْرٍ
وَعُمَرُ – رضى الله عنهما – يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ
“Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan
Abu Bakr, begitu pula ‘Umar biasa melaksanakan shalat ‘ied sebelum khutbah.”
Setelah
melaksanakan shalat ‘ied, imam berdiri untuk melaksanakan khutbah ‘ied dengan
sekali khutbah (bukan dua kali seperti khutbah Jum’at).Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam melaksanakan
khutbah di atas tanah dan tanpa memakai mimbar. Beliau pun memulai khutbah
dengan “hamdalah”
(ucapan alhamdulillah) sebagaimana khutbah-khutbah beliau yang lainnya.
Ibnul
Qayyim mengatakan, “Dan tidak diketahui dalam satu hadits pun yang menyebutkan
bahwa Nabishallallahu
‘alaihi wa sallam membuka
khutbah ‘iednya dengan bacaan takbir. … Namun beliau memang sering mengucapkan
takbir di tengah-tengah khutbah. Akan tetapi, hal ini tidak menunjukkan bahwa
beliau selalu memulai khutbah ‘iednya dengan bacaan takbir.”
Jama’ah
boleh memilih mengikuti khutbah ‘ied ataukah tidak. Dari ‘Abdullah bin As
Sa-ib, ia berkata bahwa ia pernah menghadiri shalat ‘ied bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, tatkala beliau selesai menunaikan shalat, beliau
bersabda,
إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ
فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ
“Aku
saat ini akan berkhutbah. Siapa yang mau tetap duduk untuk mendengarkan
khutbah, silakan ia duduk. Siapa yang ingin pergi, silakan ia pergi.”
Ucapan
Selamat Hari Raya
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Adapun tentang ucapan selamat (tah-niah) ketika hari
‘ied seperti sebagian orang mengatakan pada yang lainnya ketika berjumpa
setelah shalat ‘ied, “Taqobbalallahu
minna wa minkum wa ahaalallahu ‘alaika” dan semacamnya, maka
seperti ini telah diriwayatkan oleh beberapa sahabat Nabi. Mereka biasa
mengucapkan semacam itu dan para imam juga memberikan keringanan dalam
melakukan hal ini sebagaimana Imam Ahmad dan lainnya. Akan tetapi, Imam Ahmad
mengatakan, “Aku tidak
mau mendahului mengucapkan selamat hari raya pada seorang pun. Namun kalau ada
yang mengucapkan selamat padaku, aku akan membalasnya”. Imam Ahmad
melakukan semacam ini karena menjawab ucapan selamat adalah wajib, sedangkan
memulai mengucapkannya bukanlah sesuatu yang dianjurkan. Dan sebenarnya bukan
hanya beliau yang tidak suka melakukan semacam ini. Intinya, barangsiapa yang
ingin mengucapkan selamat, maka ia memiliki qudwah (contoh). Dan barangsiapa yang
meninggalkannya, ia pun memiliki qudwah (contoh).”
Bila
Hari ‘Ied Jatuh pada Hari Jum’at
Bila hari ‘ied jatuh
pada hari Jum’at, maka bagi orang yang telah melaksanakan shalat ‘ied, ia punya
pilihan untuk menghadiri shalat Jum’at atau tidak. Namun imam masjid dianjurkan
untuk tetap melaksanakan shalat Jum’at agar orang-orang yang punya keinginan
menunaikan shalat Jum’at bisa hadir, begitu pula orang yang tidak shalat ‘ied
bisa turut hadir. Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama Hambali. Dan
pendapat ini terdapat riwayat dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu
‘Abbas dan Ibnu Az Zubair. Dalil dari hal ini adalah:
Pertama: Diriwayatkan
dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah
bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom,
أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ
صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ
يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ
“Apakah
engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua ‘ied (hari Idul
Fithri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum’at) dalam satu hari?” “Iya”,
jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika
itu?” “Beliau melaksanakan shalat ‘ied dan memberi keringanan untuk
meninggalkan shalat Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Siapa yang mau shalat Jum’at, maka silakan melaksanakannya.”
Kedua:
Dari ‘Atho’, ia berkata, “Ibnu Az Zubair ketika hari ‘ied yang jatuh pada hari
Jum’at pernah shalat ‘ied bersama kami di awal siang. Kemudian ketika tiba
waktu shalat Jum’at Ibnu Az Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian.
Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thoif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun
menceritakan kelakuan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun
mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan sunnah (ajaran Nabi) [ashobas sunnah].” Jika sahabat mengatakan ashobas
sunnah(menjalankan sunnah), itu berarti statusnya marfu’ yaitu
menjadi perkataan Nabi.
Diceritakan
pula bahwa ‘Umar bin Al Khottob melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu
Az Zubair. Begitu pula Ibnu ‘Umar tidak menyalahkan perbuatan Ibnu Az Zubair.
Begitu pula ‘Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan bahwa siapa yang telah
menunaikan shalat ‘ied maka ia boleh tidak menunaikan shalat Jum’at. Dan tidak
diketahui ada pendapat sahabat lain yang menyelisihi pendapat mereka-mereka
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar